MAFAHIM ISLAM

MEMAHAMI ISLAM DENGAN MUDAH


Oleh: Azhari 


Sudah biasa dalam kehidupan kita sehari-hari disuguhi fakta kehancuran kepribadian bangsa, pakaian yang mengumbar aurat, kriminalitas yang semakin nekad, korupsi yang sulit menghukum pelakunya, tari-tarian seronok yang dianggap sebagai ekspresi pribadi dalam seni, kemusyrikin yang dibungkus secara halus dengan acara mistis, ghibah yang dibungkus indah dengan infotainment, zina diberi istilah manis dengan PSK (pekerja seks komersial) seolah-olah ini juga pekerjaan yang halal seperti pekerjaan lainnya, dll. Sangat banyak jika diurut satu persatu.

Bangsa ini dianggap tidak lagi mempunyai kepribadian, tetapi telah mengekor dengan kebudayaan Barat yang kafir dan sekuler. Sehingga mereka menganjurkan agar kembali kepada akar budaya bangsa, yakni warisan leluhur nenek moyang. Apakah yang menentukan kepribadian seseorang; penampilannya dengan jas dan berdasi?; sederet gelar yang menempel didepan dan belakang namanya?, seabrek jabatan yang disandangnya? Lantas sebagai umat Islam, apakah betul jika ingin memiliki kepribadian maka kita harus kembali kepada akar budaya bangsa yang merupakan warisan leluhur nenek moyang?

Saat manusia diciptakan oleh Allah swt Yang Maha Pencipta sekalian alam, maka seorang manusia disertai juga dengan Potensi Kehidupan (thaqatul hayawiyah), dan ini telah menjadi satu paket dengan penciptaan manusia itu sendiri. Potensi kehidupan ini terdiridari: 1) Naluri-naluri (gharizah) yakni naluri beragama (tadayyun), naluri seksual (na’u) dan naluri mempertahankan diri (baqa); 2) Kebutuhan jasmani, yakni makan, minum, buang hajat, dll; serta 3) Akal (al-aqlu).

Karena manusia mempunyai fitrah berupa naluri-naluri (gharizah) dan kebutuhan jasmani diatas, maka ia akan berusaha memenuhi keinginan tersebut. Cara pemenuhannya sangat tergantung dengan pola fikirnya (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang dipunyainya. Misal, saat ia ingin menyalurkan naluri seksualnya (gharizatun na’u), jika aqliyahnya Islam maka nafsiyahnya-pun Islam yakni dengan menikah, sebaliknya jika aqliyahnya non-Islam maka nafsiyahnya-pun non-Islam dengan hidup bersama tanpa menikah. Sehingga, kepribadian (syakhshiyah) seseorang merupakan gabungan antara pola fikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah).

Pola fikir (aqliyah) adalah, mengaitkan antara fakta (al-waqi’) yang ditemui dengan informasi (ma’lumat) yang diperoleh sebelumnya. Misal, jika kepada seorang anak kecil diperlihatkan sebuah benda HANDPHONE dan diinformasikan kepada dirinya bahwa nama benda tersebut adalah PULPEN, selalu diulang-ulang dan ditanamkan kepada dirinya bahwa benda itu adalah PULPEN, maka pada saat ia disuruh mengambil PULPEN maka ia akan menghantarkan kepada kita sebuah HANDPHONE. Begitulah dahsyatnya sebuah pemahaman yang salah terhadap aqliyah, hal ini baru sebatas masalah sebuah benda yang diberikan informasi yang salah, apalagi pemahaman yang salah tentang hukum-hukum syara’ (syari’at Islam).

Sehingga wajar saja, meskipun mereka disebut cendekiawan muslim atau kiai sekalipun, tetapi bisa jadi pemikirannya sekuler (memisahkan agama dari kehidupan bernegara). Karena ia telah memperoleh pemahaman yang salah bahwa Islam hanya sebatas ibadah mahdhah (individu), negara tidak berhak mengatur kehidupan beragama rakyatnya, begitu kata mereka. Padahal begitu banyak ayat dan hadits yang menyatakan bahwa Allah swt saja yang berwenang dalam menetapkan hukum-hukum untuk mengatur kehidupan manusia, dan hanya sebuah negara (daulah) yang memungkinkan hukum-hukum itu diterapkan secara kaffah (total).

Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (An-Nisaa’ 59).
Sedangkan pola sikap (nafsiyah) adalah, sikap yang diambil oleh seseorang dalam memenuhi nalurinya (gharizah) dan kebutuhan jasmaninya. Nafsiyah seseorang sangat tergantung dengan aqliyahnya.

Seseorang yang berkepribadian (syakhshiyah) Islam, ia harus memilik sumber yang sama yakni Islam saja, yakni mempunyai aqliyah dan nafsiyah islamiyah. Ia belum bisa dikatakan berkepribadian Islam, jika aqliyahnya Islam tetapi nafsiyahnya sekuler. Seperti kiai atau cendekiawan muslim tadi, mungkin saja ia mempunyai aqliyah Islam tetapi ia menunjukkan nafsiyah sekuler, maka ia tidak memiliki kepribadian Islam.

Lantas bagaimana agar seseorang mempunyai aqliyah dan nafsiyah islamiyah? Agar ia mempunyai aqliyah islamiyah, maka ia harus selalu meningkatkan tsaqafah islamiyah (pengetahuan Islam) melalui pengajian, diskusi, baca buku, dll. Makin banyak pengetahuannya tentang Islam, maka makin mudah pula ia menetapkan hukum syara’ terhadap suatu fakta yang ditemuinya (al-waqi’).

Agar ia mempunyai nafsiyah islamiyah, maka ia selalu menjalankan ibadah baik yang wajib maupun sunah dan melakukan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah swt). Sehingga, ia merasa bahwa Allah swt yang menciptakan dirinya, maka hanya Allah swt yang berhak mengatur dirinya. Ia merasa Allah swt selalu mengawasi dirinya, sehingga ia tidak akan berbuat suatu perbuatan yang tidak diridhai Allah swt.

Tolok ukurnya dalam berperilaku adalah syari’at Allah Yang Maha Sempurna, yakni Islam. Ia tidak akan berhukum selain hukum Allah swt, lebih baik ia berhenti sejenak sebelum berbuat dan memastikan hukumnya, daripada ia melakukan suatu perbuatan tetapi ternyata kemudian hari ia telah bermaksiat kepada Allah swt.

Sebagai umat Islam, untuk membentuk kepribadian tentu harus mengacu kepada Islam pula, yakni dengan aqliyah dan nafsiyah islamiyah. Bukan kembali kepada budaya leluhur, karena budaya leluhur ini ciptaan manusia yang nyata-nyata tidak sempurna dan parameternya bisa berbeda disetiap daerah. Budaya meletakkan satu kaki diatas kaki lain saat duduk dikursi, sangat tidak sopan bagi masyarakat Jawa tetapi hal yang wajar saja bagi masyarakat Melayu. Tetapi kalau parameternya Islam, maka pasti sempurna karena diciptakan oleh Sang Pencipta manusia sendiri, juga tidak berubah-ubah dan berlaku disetiap tempat dan zaman.

Wallahua’lam

Maraji’:
Syakhshiyah Islam, Taqiyuddin An-Nabhani

0 comments:

AZHARI

AZHARI

Renungan

KEBERANIANKU TIDAK AKAN MEMPERPENDEK UMURKU

KETAKUTANKU TIDAK AKAN MEMPERPANJANG UMURKU

AKU AKAN TERUS BERJUANG SEMAMPUKU

UNTUK KEBENARAN DAN KEADILAN

HINGGA ALLAH MEMANGGILKU PULANG

ALLAHU AKBAR !



free counters

Pernyataan

Silahkan mengutip artikel di blog ini karena hak cipta hanya milik Allah swt.