Oleh: Azhari
Akhir-akhir ini berkembang wacana bahwa NKRI sudah final, Pancasila tidak bertentangan dengan syari’at Islam bahkan bisa mengadopsi syari’at Islam. Hal ini timbul karena opini bahwa penegakan syari’at Islam akan berdampak desintegrasi NKRI atau penegakan syari’at Islam akan merusak keragaman budaya Indonesia. Ini opini yang menyesatkan, karena justru konsep Islam menyatukan umat berdasarkan aqidahnya (Islam). Islam justru membuang jauh-jauh sekat-sekat nasionalisme kebangsaan, sehingga menjulurlah peradaban Islam keseluruh jazirah Arab, bekas daerah Persia dan Rumawi, hingga Balkan.
Islam diyakini mengatur seluruh relung kehidupan manusia, disamping mengatur tata cara ibadah, Islam juga mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak dapat dipungkiri bahwa al-Quran dan as-sunnah berisi aturan tentang sosial kemasyarakatan (mu’amalah), ekonomi (iqitishadiy), politik (siyasah), peradilan (‘uqubat), dll. Tidak ada kitab didunia sesempurna aturan yang ada dalam al-Quran, kitab agama lain cenderung mengatur tata cara ibadah, do’a-do’a dan akhlaq. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Islam tidak hanya sebuah agama (mengatur ritual ibadah semata) tetapi juga sebuah ideologi yakni mampu membentuk sebuah peradaban. Ini terbukti dengan peradaban Islam yang gemilang dari masa pembentukan negara Madinah yang dipimpin langsung oleh Muhammad saw, khulafaurrsasyidin dan dilanjutkan kekhilafahan Umayyah, Abassiyah dan Utsmaniyah.
Pancasila berasal dari sebuah ideologi lain yang bernama demokrasi, Pancasila diadopsi dari demokrasi yang diambil dari Barat dan dimasukkan nilai-nilai keindonesian didalamnya. Demokrasi sendiri kemunculannya karena keinginan yang kuat untuk memisahkan kehidupan Negara dan agama, karena begitu dominannya pengaruh agama (gereja) dalam mengatur kekaisaran. Hal inilah yang dikenal dengan sekulerisme dan itu melekat erat dalam diri demokrasi. Fakta kemudian menunjukkan bahwa dalam alam demokrasi sebuah aturan disahkan selama mayoritas masyarakat (bisa diwakilkan) menerimanya, meskipun aturan tersebut bertentangan dengan norma agama. Sehingga sebetulnya Pancasila adalah sebuah ideologi sekuler yang diadopsi dari demokrasi yang telah dimodifikasi dengan unsur-unsur keindonesian.
Ketika dicoba dibuat jalan tengah (wasathiyyah) antara Islam dan Pancasila maka muncullah ide untuk memasukkan saja syari’at (hukum/UU) Islam tetapi masih dalam kerangka (frame) Demokrasi Pancasila. Dengan alasan Pancasila sendiri tidak bertentangan dengan agama dan malah sangat religius karena sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Telah diuraikan diatas bahwa Islam tidak hanya sebuah agama tetapi juga IDEOLOGI, begitu juga Pancasila diadopsi dari demokrasi dengan nilai keindonesian adalah sebuah IDEOLOGI. Bagaimana mungkin 2 (dua) ideologi yang berbeda landasannya bisa digabungkan? Ideologi Islam berdasarkan wahyu Allah swt berupa al-Quran dan as-sunnah, sedangkan Ideologi Pancasila berdasarkan kesepakatan umum yang diterima rakyat. Ideologi Islam dijalankan berdasarkan ketaqwaan kepada Allah swt, Ideologi Pancasila dijalankan berdasarkan kemaslahatan rakyat. Walhasil, ini bagaikan mencampurkan antara minyak dan air dalam satu gelas dan mustahil untuk bisa menyatu atau bagaikan kapal dengan dua nakhoda dan tidak mungkin bisa mencapai tujuan.
Baiklah, untuk menyederhanakan masalah kita ambil satu contoh kasus dan karena maraknya Perda Syari’at maka kita ambil dari kasus ini. Sebuah daerah mengusulkan adanya Perda syari’at tentang Pelacuran. Jika tertangkap dan terbukti bersalah maka pelacur ini dipenjara beberapa bulan atau tahun, kemudian direhabilitasi agar sekeluar dari penjara dia tidak kembali menjadi pelacur. Dalam Islam seorang yang berzina jika dia bujangan (muhshan) maka akan dijilid (dicambuk) 100 kali, sedangkan jika dia telah menikah (ghairu muhshan) maka akan dirajam (dilempari) hinggga mati.
Wanita yang berzina dan pria yang berzina, deralah masing-masing seratus kali (An-Nur 2).
Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi; tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah Rasulullah, kecuali salah seorang dari tiga: 1) Janda yang berzina, 2) Orang yang membunuh orang lain 3) Orang yang meninggalkan agamanya dan keluar dari jamaahnya (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Disini terlihat perbedaan Perda dengan syari’at Islam, meskipun namanya ”Perda Syari’at” dan rasa-rasanya sudah islamiy, tetapi tetap saja bertentangan dengan Islam. Belum lagi adanya kewenangan Daerah membuat UU sendiri, pengesahan UU yang harus melewati DPRD, pengadilan banding yang bertingkat-tingkat, dll, semuanya ini bertentangan dengan syari’at Islam. Hal ini terjadi karena kerangka sistemnya masih sekuler (Pancasila) sehingga segala sesuatunya bukan berdasarkan Islam.
Inilah akibat kita coba-coba mengkompromikan Islam dengan ideologi yang lain, akhirnya terjerembab kedalam pragmatisme.
Wallahua’lam
0 comments:
Post a Comment