Oleh: Azhari
Banyak kita temukan orang-orang dalam memutuskan suatu perkara berdasarkan maslahat semata, dalam ushul fiqih ini dikenal dengan “mashalih murshalah”, baik perkara individu, jama’ah maupun negara. Segala sesuatu dianggap benar jika ada maslahatnya, serta salah jika tidak ada maslahatnya meskipun sesuai dengan syari’at. Padahal para Imam Madzhab dan fuqaha menyatakan bahwa mashalih murshalah bukanlah dalil, kecuali pengikut Imam Malik menjadikannya sebagai dalil. Dasar pengambilan hukum yang umum dikenal ulama adalah: Al-Quran, as-sunnah, ijma’ dan qiyas, dalam hal qiyas madzhab Zhahiri, Syi’ah dan Mu’tazilah tidak menggunakannya. (lihat 1, hal 2-4)
Akibatnya terjadi kerancuan dalam berbagai hal, yang halal diharamkan dan yang haram dihalalkan. Bagi mereka yang penting maksud syari’at tercapai (maqashid syar’iyyah), dimana ada maslahat pasti ada syari’at. Tetapi jika sesuai dengan syari’at tetapi tidak ada maslahatnya maka tidak bisa terima, kemungkinan kita salah dalam mentakwilkannya. (lihat 2, hal 175)
Sehingga timbul fatwa yang hanya merujuk kepada kemaslahatan. Riba yang jelas-jelas diharamkan Allah swt, menjadi halal karena ada maslahatnya yakni jika digunakan untuk kepentingan Islam. (lihat 2, hal 282), berdamai dengan Yahudi laknatullah, bergabung dengan sistem yang tidak Islam (lihat 3), mengganti sanksi ‘uqubat (hudud dan qishash) dengan hukum penjara, semuanya dengan alasan maslahat. Bahkan saat ini, dalam menentukan capres yang akan didukung-pun lebih ditonjolkan kriteria maslahat daripada syari’at.
Mereka menyandarkan hujjahnya terhadap beberapa kemaslahatan yang telah dilakukan oleh beberapa sahabat; usulan pengumpulan mushaf Al-Quran oleh Umar bin Khaththab, usulan Abu Bakar untuk memilih Umar bin Khaththab penggantinya sebagai Khalifah, usulan Umar bin Khaththab dalam mengatur pemerintahan (membuat badan-badan pemerintahan, sistem arsip, penjara, penanggalan surat menyurat, dll), tidak dibagikannya tanah kharaj Iraq kepada kaum muslimin, hukum jilid 80 kali bagi peminum khamr, Umar menghukum mati sekelompok orang yang bersama-sama dalam membunuh, dll. (lihat 1, hal 6) Kaidah yang sering mereka gunakan adalah: “maa laa yudriku kulluh laa yutraku kulluh” (segala yang tidak mampu dicapai seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan seluruhnya) atau “Izaa ta’aaradha mafsadataani ruu’iya a’zhamuha dharaaran birantikaabi akhaffihimaa” (Jika berkumpul dua mudharat dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih ringan mudharatnya).
Maslahat tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada manusia dengan menggunakan akalnya semata (hawa nafsu), karena setiap orang akan mempunyai parameter yang berbeda terhadap kemaslahatan. Jika urusan kemaslahatan sepenuhnya diserahkan kepada manusia, maka kekacauan yang akan terjadi karena setiap manusia mempunyai keinginan dan kepentingan yang berbeda. Maslahat bagi seseorang belum tentu maslahat bagi yang lain. Sehingga dalam kehidupan kita ini harus ada parameter yang bisa diterima setiap orang (ukuran baik-jahat, bagus-jelek, halal-haram, boleh-tidak, terpuji-tercela, maslahat-mafsadat), tidak ada parameter kehidupan yang paling benar selain datangnya dari Sang pencipta kehidupan sendiri yakni Allah swt.
Bagi pencinta kebebasan, adalah maslahat jika ia mempertontonkan auratnya didepan umum, dengan demikian ia mampu mengekspresikan dirinya. Tetapi bagi yang lain tidak maslahat, karena membangkitkan syahwatnya sehingga mendorongnya untuk berbuat maksiat. Kemudian datanglah parameter dari Allah swt, dilarang membuka aurat terhadap yang bukan mahram dan menundukkan pandangan ketika bertemu lawan jenis. Bukankah ini parameter yang paling benar dan mulia?
Bagi pembela HAM, sungguh perbuatan kejam dan tidak manusiawi (tidak maslahat) jika pembunuh harus dihukum mati dan bukankah pembunuh itu masih ada kesempatan untuk menjadi orang baik, tetapi bagi keluarga korban maslahat karena ia memperoleh keadilan. Kemudian datang parameter dari Allah swt, seorang pembunuh akan diqishash (dibunuh juga) kecuali jika keluarga korban memaafkannya maka pembunuh harus membayar diyat (denda). Bukankah ini parameter paling benar dan mulia?
Jika hukum qishash dianggap kejam, maka hampir setiap hari kita saksikan di TV para keluarga korban pembunuhan (anak, suami, saudara dan orang tuanya yang terbunuh) sambil menangis berucap: “Saya ingin pembunuhnya dihukum seberat-beratnya (mati), perbuatannya sadis, saya sangat kehilangan karena tidak ada yang lebih berharga daripada dia, saya rela seluruh harta saya diambil asalkan anak saya kembali” (ucapan seorang Ibu dari Surabaya yang anaknya dibunuh oleh perampok dalam sebuah acara kriminal di TV). Ini fitrah manusia, jika keluarganya terbunuh maka pelakunya harus mendapat imbalan setimpal. Tetapi ia boleh saja memaafkan pembunuhnya dan memperoleh diyat, sehingga sang pembunuh terbebas dari hukuman qishash (mati). Sekarang tanyakan kepada pembela HAM itu, apakah jika keluarganya yang terbunuh, ia masih menganggap hukum qishash adalah kejam?
Mashalih murshalah (maslahat) dapat saja diterapkan dalam hal perkara juziyat (cabang) yang tidak mempunyai dalil khusus, tentu setelah benar-benar dikaji bahwa memang tidak ada dalil khusus. Tetapi jika telah ada dalil khusus maka tidak ada peluang untuk menggunakan mashalih murshalah. Mashalih murshalah dapat dilakukan dengan syarat:
1. Maslahat sejalan dengan tujuan syara’
2. Maslahat yang diambil sesuai dengan kaidah ushul
3. Maslahat sangat urgen dan menyangkut kepentingan kaum muslimin, tidak bersifat individu atau golongan (lihat 1, hal 19)
Tidak bisa juga kita mencari-cari illat (indikasi) maslahat sebuah hukum syara’, jika ada maslahat diambil dan jika tidak dibuang. Karena hukum syara’ itu telah dihalalkan atau diharamkan dengan atau tanpa adanya illat,(lihat 1, hal 25) jika mau dicari-cari silahkan saja tetapi hukumnya tidak boleh diubah. Zina misalnya, illat diharamkan karena merusak sistem sosial masyarakat. Lantas jika dilakukan sepasang manusia dengan suka sama suka, tidak mengganggu tetangganya dan malah sepasang kumpul kebo itu sangat aktif bergaul dilingkungannya, mereka mengatur sendiri status anak (garis keturunan) yang dilahirkannya seperti yang dilakukan oleh masyarakat Barat, apakah status zinanya menjadi halal karena tidak ada unsur merusak didalamnya? Tentu tidak, karena zina hukumnya sudah jelas haram dengan atau tanpa illat.
Walhasil, jika semua hal disandarkan kepada maslahat, maka kita tidak membutuhkan para ulama, fuqaha, mufassir, mujtahid untuk melakukan istinbath (penggalian) nash-nash dari Al-Quran dan as-sunnah, karena toh akhirnya akan kita tolak juga jika tidak ditemukan sisi maslahatnya. Kita hanya membutuhkan para filosof yang bisa menelorkan konsep-konsep kehidupan dengan alasan maslahat didalamnya serta politikus/orator ulung yang dengan keahliaan bicaranya mampu memukau dan meyakinkan umat bahwa konsep tersebut maslahat bagi mereka.
Denga metode berfikir ini, bahwa jika maslahat diambil dan jika mafsadat dibuang berdasarkan akalnya semata, maka ia telah menempatkan dirinya sebagai musyarri’ (pembuat hukum). (lihat 5, hal 168) Sungguh ini kelancangan luar biasa terhadap Allah saw dan rasul-Nya dan melecehkan jerih payah para Imam Madzhab dan ulama terdahulu dalam mengkaji ilmu dan menelorkan banyak kitab-kitab besar. Mudah-mudahan kita terhindar dari perbuatan seperti ini.
Katakanlah: Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami?. Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta (Al-An’am 148).
Siapa yang mengartikan ayat Al Qur'an hanya dengan pendapatnya atau dengan dasar yang ia tidak mengetahuinya, maka hendaknya menempatkan dirinya dalam neraka (HR At-Tirmidzi, An-Nasa'i dan Ibn Jarir).
Tiada yang paling berhak yang menentukan maslahat atau mafsadat terhadap manusia selain Allah swt, Dia-lah yang mengetahui rahasia dibalik hukum syara’ itu. Jika Allah swt perintahkan maka pastilah maslahat bagi kita, jika Allah swt larang maka pastilah mafsadat bagi kita. Kita tidak mampu mengetahui secara pasti, maslahat atau mafsadat segala sesuatu kecuali syara’ sendiri yang menjelaskannya. (lihat 5, hal 173) Hukum Qishash misalnya, syara’ menjelaskan kemaslahatannya bahwa dibalik menghukum mati pembunuh mampu menjaga kehidupan manusia seluruhnya. Karena sanksi yang sangat berat, membuat seseorang berfikir seribu kali untuk menghilangkan nyawa orang lain. Tidak seperti saat ini, dengan upah sejuta atau dua juta mereka bersedia membunuh orang lain. Karena hukuman penjara yang ringan, yakni belasan tahun saja.
Dan bagi kalian didalam hukum qishash itu terdapat kehidupan, wahai ulul albab (Al-Baqarah 179).
Tetapi jika syara’ tidak menjelaskan adanya maslahat, maka tidak ada hak kita untuk menetapkannya karena keterbatasan akal kita. Sehingga tidak berhak pula kita menolak hukum syara’ karena tidak ada unsur maslahat didalamnya, kita hanya wajib mengimaninya dan kembalikanlah kepada Allah swt. Mungkin suatu saat nanti, generasi berikutnya yang lebih cerdas mampu menemukan rahasia Allah swt tersebut. Maka cukuplah kita menggunakan kaidah syara’:
Haytsuma yakuunusysyar’u takuunulmashlahatu (dimana ada hukum syara’ disana ada maslahat)
Jika ingin tahu keterbatasan akal, maka cobalah cari jawaban terhadap hukum syara’ yang berbeda ini: masa iddah (tunggu) wanita yang dicerai suaminya 3 quru’ (masa haid) dan 4 bulan 10 hari bagi yang ditinggal mati, padahal kondisi rahimnya sama saja. Fungsi air dan tanah bisa digunakan untuk bersuci (thaharah), padahal air membersihkan dan tanah mengotori. Wajib mandi jika keluar mani dan tidak wajib jika keluar madzi, padahal keduanya keluar ditempat yang sama. Adakah kita mengetahui dibalik rahasia hukum Allah swt tersebut, bukankah begitu terbatasnya akal kita? Lantas bagaimana mungkin kita menyombongkan diri dengan menetapkan sendiri maslahat atau mafsadat, sedangkan Allah swt telah menetapkan hukumnya.
Wallahua’lam
Maraji’:
1. Adakah hukum maslahat dalam Islam, DR. Iyad Hilal, Wahyu Press, cetakan I
2. Prioritas gerakan Islam, DR. Yusuf Qaradhawi, Usamah Press, cetakan II
3. Fiqih daulah, DR. Yusuf Qaradhawi, Pustaka Al-Kautsar, cetakan VI
4. Haruskah hidup dengan riba, DR. Yusuf Qaradhawi, GIP, cetakan VI
5. Dakwah Islam jilid 2, Ahmad Mahmud, Pustaka Thariqul Izzah, cetakan I
0 comments:
Post a Comment