Oleh: Azhari
Demonstrasi buruh tanggal 5 April 2006 untuk menolak Revisi UU No. 13 Tahun 2003 disertai dengan pengrusakan fasilitas umum seperti Busway, telepon umum dan tanaman hias. Entah salah apa fasilitas tersebut sehingga harus dirusak, padahal fasilitas itu sangat bermanfaat dan digunakan untuk kepentingan umum.
Banyaknya kebijakan penguasa yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat, bertolak belakang dengan janji-janji kampanye Pilpres, menjadikan demonstrasi merupakan sarana untuk menyampaikan aspirasi menolak kebijakan yang dzalim tersebut. Demonstrasi menjadi tekanan yang efektif terhadap penguasa untuk menunda atau bahkan membatalkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Kebijakan kenaikan BBM meskipun telah di demo berbagai kalangan tetap dinaikkan, hal ini tidak lepas dari dukungan terang-terangan beberapa partai pro-pemerintah terhadap kebijakan tesebut. Tetapi disisi lain kebijakan kenaikan TDL mampu membuat pemerintah tunduk terhadap kepentingan rakyat, meskipun sementara karena pemerintah menggunakan istilah “menunda” bukan “membatalkan”
Lantas adakah demonstrasi didalam Islam? Apakah demonstrasi boleh dilakukan secara anarkis? Demonstrasi seperti apa yang dibolehkan?
Menyampaikan aspirasi dibolehkan (mubah) didalam Islam, ini sama halnya ketika kita menyampaikan pendapat terhadap suatu perkara. Aspirasi bisa berupa usulan perbaikan agar kehidupan ini lebih baik atau aspirasi menentang kebijakan yang dzalim dan tidak berpihak kepada rakyat.
Didalam terminologi bahasa Arab ada dua istilah menyampaikan aspirasi:
1. Muzhaharah (demonstrasi). Menyampaikan aspirasi dengan melakukan pengrusakan dan penghancuran fasilitas umum/pribadi, ini merupakan cara baku (thariqah) dalam sistem sosialis (komunis) untuk melakukan perubahan masyarakat. Mereka melakukan pemboikotan, pemogokan, kerusuhan dan pengrusakan agar tercapainya revolusi rakyat.
2. Mashirah (unjuk rasa). Menyampaikan aspirasi, tuntutan, bantahan terhadap opini yang menyimpang atau kebijakan dzalim yang dijalankan penguasa. Metode ini tidak disertai dengan pengrusakan dan penghancuran fasilitas umum/pribadi. Ini bagian dari aktifitas da’wah dan koreksi (muhasabah) terhadap penguasa. Lihat 5, hal 28-29
Dengan demikian Muzhaharah diharamkan didalam Islam, karena aktifitasnya bertentangan dengan syari’at semisal mengganggu ketertiban, merusak milik umum/pribadi, bahkan disertai dengan perkelahian, penganiayaan dan pembunuhan.
Disisi lain Mashirah yang dilakukan dengan tertib dan tidak merusak fasilitas umum/pribadi sangat berbeda dengan muzhaharah, sehingga ini dibolehkan. Mashirah merupakan salah satu cara (uslub) saja untuk melakukan perubahan ditengah umat.
Rasulullah saw pernah melakukan Mashirah saat di Makkah. Beliau membentuk dua shaf barisan, satu dipimpin oleh Umar bin Khaththab dan yang lain dipimpin oleh Hamzah ibn Abdul Muthalib, berjalan mengelilingi Ka’bah disertai dengan takbir. Tetapi Beliau tidak menjadikan hal ini sebagai thariqah tetapi hanya uslub saja. Lihat 1, hal 113-117
Islam tidak mengenal sekulerisme yakni pemisahan agama dari kehidupan politik/Negara, Islam mengatur tata cara ibadah pribadi (mahdhah) sebagaimana halnya Islam mengatur juga masalah Negara. Islam mengatur tata cara shalat, puasa, zakat dan haji sebagaimana halnya Islam mengatur juga masalah ekonomi, politik dan peradilan. Sehingga kebijakan penguasa dalam mengatur pemerintahannya yang bertentangan dengan syari’at maka seharusnya diluruskan.
Kritik terhadap penguasa bisa dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, jika kebijakan itu berdampak luas dan sangat merugikan, serta masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang Islam maka selayaknya dilakukan secara terang-terangan. Pengungkapan kebijakan dzalim penguasa secara terang-terangan bukanlah ghibah karena bertujuan untuk mencegah berlanjutnya kedzaliman itu. Lihat 3, hal 33-37
Pemimpin para Syuhada adalah Hamzah, dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang dzalim kemudian (ia) menasehatinya, lalu penguasa tadi membunuhnya (HR Hakim).
Seutama-utamanya jihad adalah ucapan/menyampaikan (kata-kata) yang haq di hadapan penguasa yang zalim (HR Ahmad, At-Tirmidzi dan Nasa’i).
Kelak akan ada para penguasa, lalu kalian melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Siapa saja yang melakukan amar ma’ruf maka dia telah bebas (dari pertanggungjawaban di hadapan Allah swt). Siapa saja yang melakukan nahi mungkar maka dia selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridha dan mengikutinya (maka dia tidak akan bebas dan tidak selamat) (HR Muslim). Lihat 2, hal 66-73
Kritik terhadap penguasa ini merupakan salah satu cara umat menjaga syari’at agar terpelihara dan tidak menyimpang, sikap diam terhadap penyimpangan sebagai tanda kelemahan iman. Penguasa yang baik adalah penguasa yang taqwa yakni penguasa yang sangat takut ketika menyimpang dari al-Quran dan as-sunnah. Sehingga penguasa seperti ini akan sangat berterima kasih jika diingatkan telah menyimpang, bukan malah menangkap dan memenjarakan para pengkritiknya.
Salah satu kasus kritikan yang dilakukan secara terang-terangan ketika seorang nenek secara terbuka menentang kebijakan Khalifah Umar bin Khaththab dalam hal mahar bagi para wanita. Sang nenek dengan lantang menyatakan: ”Hukum macam apa yang engkau kehendaki, wahai Umar?” Umar menanggapi: ”Memangnya mengapa?” Kemudian sang nenek membacakan firman Allah swt:
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (An-Nisa’ 20).
Lantas Umar berkata: “Ucapan wanita itu benar, Umar yang salah!” Lihat 4, hal 34-35 Ketaqwaan Umar mengalahkan egonya sebagai penguasa, Umar lebih takut adzab Allah swt daripada rasa malu dikritik oleh rakyatnya.
Wallahua’lam
Maraji’:
1. 36 soal jawab tentang ekonomi, politik dan dakwah Islam, Abu Fuad, Pustaka Thariqul Izzah, cet. I
2. Dakwah Islam, Ahmad Mahmud, Pustaka Thariqul Izzah, cet. I
3. Bencana lisan, Sa’id Ibnu Ali Al-Qahthani, Penerbit Islam Tadabbur, cet. I
4. Meraih nikmatnya iman, Abdullah Nasih ‘Ulwan, Pustaka Mantiq, cet. IV
5. Al-Wa’ie, edisi 54
0 comments:
Post a Comment