Oleh: Azhari
Wajib bagi yang mampu saja
Sebentar lagi musim haji akan tiba, perlu kita diingatkan kembali (tausiyah) atas kewajiban ibadah yang satu ini. Naik haji adalah kewajiban bagi muslim/muslimah, kewajiban ini dilakukan jika mereka telah mampu melakukannya. Artinya, tidak semua orang diwajibkan untuk naik haji, hanya untuk yang mampu saja. Kewajiban haji hanya satu kali saja seumur hidupnya, selebihnya sunah saja.
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (Ali Imran 97).
Ibadah haji sekali (seumur hidup), barangsiapa menambahnya (lebih dari satu kali), maka termasuk sunah (HR Abu Dawud, Ahmad dan Hakim).
Kriteria mampu yang disebutkan pada ayat diatas adalah:
1. Kesehatan, tidak ada penyakit berat yang dapat menghalanginya untuk berangkat haji.
2. Bekal, yakni ia mempunyai harta untuk membiayai perjalanannya dan biaya untuk keluarga yang ditinggalkannya.
3. Kendaraan, yakni tersedianya kendaraan untuk menuju Baitullah dan adanya jaminan keamanan dalam perjalanan.
Dari ketiga kriteria diatas kita bisa menganalisa sendiri, apakah kita sudah termasuk orang-orang yang telah wajib untuk berangkat haji. Dari segi bekal, kita mungkin sudah lebih dari cukup untuk berangkat haji dan kesehatan tidak ada masalah. Disisi lain saat ini tidak ada halangan kendaraan untuk berangkat ke Baitullah, pesawat dengan mudah diperoleh dan keamanan selama perjalanan terjamin atau tidak terjadi peperangan dinegeri kita yang menghalangi kita untuk berangkat haji.
Reward dan Punishment
Apa saja Reward (janji Allah) bagi orang-orang yang melaksanakan haji dan memperoleh haji mabrur,
Barangsiapa yang melaksanakan ibadah haji ke Baitullah dan tidak mengerjakan rafas (ucapan dan perbuatan kotor) dan tidak pula fasiq (berbuat maksiat), maka ia akan bersih dari dosanya, seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya (HR Bukhari dan Muslim).
Tidak ada balasan bagi haji mabrur selain syurga (HR Bukhari dan Muslim)
Ciri-ciri orang yang memperoleh haji mabrur, yakni seseorang yang sepulang haji ia mengalami perubahan dalam hidupnya; dalam hal ibadah ia lebih ta’at dalam menjalankannya, lebih tekun dan khusyu’ (taqarrub ilallah) serta ia semakin taqwa dan ditunjukkan dengan selalu mengacu kepada syari’at Allah swt dalam berucap dan berbuat.
Sedangkan Punishment bagi yang telah wajib berangkat haji, tetapi masih menunda-nunda keberangkatannya. Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib,
Barangsiapa berkemampuan menunaikan haji lalu ia tidak menunaikannya, maka terserah baginya memilih mati dalam keadaan beragama yahudi atau nasrani.
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab,
Aku bertekad mengutus beberapa orang menuju wilayah-wilayah ini untuk meneliti siapa yang memiliki kecukupan harta, namun tidak menunaikan haji, agar diwajibkan atas mereka membayar jizyah. Mereka bukanlah muslim, mereka bukanlah muslim.
Begitulah ijtihad Ali dan Umar dalam menghukumi orang-orang yang telah mampu tetapi tidak berangkat haji, beliau menghukumi sebagai bukan termasuk orang muslim (yahudi atau nasrani) dan diwajibkan membayar jizyah (jizyah wajib dibayarkan oleh kaum non-muslim kepada Daulah Islam untuk melindungi harta dan jiwa mereka). Inginkah kita dianggap mati dalam keadaan kafir (yahudi atau nasrani), karena tidak melaksanakan ibadah haji? Na’udzubillah!
Untuk itu bersegeralah melakukan ibadah Haji, selagi mampu dari segi kesehatan, bekal dan kendaraan. Kita tidak bisa menunda-nunda karena kita tidak bisa memastikan apakah masih sempat melaksanakannya, karena umur rahasia Allah swt dan bisa jadi kita tidak sempat melakukannya karena sudah keburu dipanggil oleh Sang Pemilik sekalian alam,
Cepat-cepatlah kalian menunaikan haji, karena sesungguhnya seseorang diantara kamu tidak tahu apa yang akan terjadi padanya (HR Imam Ahmad).
Sempurnakah keislaman seseorang setelah naik haji?
Jika seseorang telah menunaikan ibadah haji, ia memang telah menyempurnakan rukun Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji), tetapi ia belum bisa dikatakan “Sempurna sebagai muslim/muslimah”.
Seseorang dikatakan sempurna sebagai muslim/muslimah, jika setiap amalnya (ucapan dan perbuatannya) mengacu kepada syari’at Allah swt. Ia belum sempurna sebagai muslim jika ia melakukan shalat tetapi masih menyuap pejabat, ia membayar zakat tetapi masih membuka aurat, ia menunaikan puasa tetapi masih makan riba, ia telah naik haji tetapi masih mudah terbawa emosi dengan memaki-maki orang, dst-nya.
Jadi, disaat ia telah menyempurnakan rukun Islam dengan naik haji, tidak otomatis sempurna juga ia sebagai muslim/muslimah. Ia sempurna sebagai muslim/muslimah disaat hanya syari’at Allah swt saja yang dijadikan standar (miqyas) amalnya.
Alasan klasik yang tidak bisa diterima
Sering kita jumpai dua alasan klasik disaat seseorang ditanyakan kenapa belum berangkat haji, yakni: “Belum ada seruan” atau “Belum siap mental”.
Belum ada seruan; ini alasan yang mengada-ada, seruan yang mereka maksudkan tentu seruan dari Allah swt, padahal Allah swt telah menyeru 14 abad yang lalu melalui firmannya dalam surat Ali Imran 97. Jadi tidak ada alasan baginya untuk mengatakan: “Belum ada seruan”, dengan alasan itu ia malah mengabaikan seruan Allah swt.
Belum siap mental; alasan ini dipahami bahwa setelah naik haji mentalnya belum siap. Artinya, bagaimana pendangan orang jika sepulang haji ia masih menikmati riba (bunga bank), pergi kediskotik, masih membuka aurat, masih meninggalkan shalat, masih bergunjing, masih gampang marah, dan sebagainya. Tentu ejekan orang yang akan diterimanya: “Pak Haji/Bu Haji koq begitu sih?”
Dengan alasan ini, menunjukkan bahwa dirinya masih ingin berbuat maksiat atau belum puas untuk berbuat maksiat. Ini sungguh perbuatan nekad, berbuat maksiat kepada Allah swt tanpa rasa takut akan dihisab oleh Allah atas perbuatannya itu. Apakah ia akan hidup selamanya?
Dengan naik haji, seharusnya menambah motivasi dirinya untuk meninggalkan semua kemaksiaatan itu. Awalnya, mungkin ia merasa risih korupsi karena ia telah haji, ia merasa risih membuka aurat karena ia telah haji, tetapi lama-lama telah menjadikan bagian dari hidupnya dan bagian dari ketaatannya kepada Allah swt. Sehingga hilanglah unsur riya’-nya.
Wallahua’lam
Maraji’:
1. Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
2. Haji, Umrah dan Ziarah, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
3. Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghazali
4. Pedoman Hidup Muslim (Minhaj Al-Muslim), Abu Bakr Jabir Al-Jazairi
0 comments:
Post a Comment