Oleh: Azhari
Bulan Mei lalu Pengadilan Negeri Padang menjatuhkan palu dengan memvonis 2 th penjara dan denda 100 juta terhadap 43 orang anggota DPRD Padang, mereka didakwa telah melakukan korupsi secara bersama-sama sebesar 4,9 miliar rupiah. Para anggota legislatif ini sebagian adalah para da’i yang sering mengisi ceramah-ceramah dimesjid-mesjid kota Padang. Bahkan salah seorang dari mereka adalah da’i kondang, jika beliau mengisi ceramah agama (tarawih misalnya) maka mesjid akan membludak. Tetapi sekarang, para da’i penganjur kebenaran itu melakukan kemaksiaatan dengan mengambil harta yang bukan haknya. Disini dapat kita pahami bahwa pemahaman agama seseorang, tidak mampu menjamin mereka untuk tidak melakukan korupsi. Pasti ada faktor lain yang sangat penting dan mampu mengatasi masalah korupsi ini, selain faktor pemahaman agama dan gaji yang memadai. Apakah faktor lain itu?
Korupsi terjadi karena lemahnya kontrol Negara terhadap aparatnya, perlakuan hukum yang berbeda antara penguasa dan rakyat jelata dan ringannya sanksi hukum terhadap para koruptor.
Lemahnya kontrol Negara dapat kita lihat dari “kerjasama” yang baik antara yang diperiksa dan pemeriksa, meskipun telah ada badan khusus pemeriksa keuangan Negara seperti BPK dan badan-badan lainnya, tetapi sering mereka dengan mudah mengatur agar terlihat bersih karena mental korup telah merasuk secara mendalam terhadap para aparat pemerintah.
Perlakuan hukum yang berbeda dapat kita lihat ketika pejabat pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang terlibat korupsi, mereka berusaha saling menutupi kasus-kasus korupsi, bahkan setelah terbukti bersalah dipengadilan-pun pejabat tersebut tidak dipecat dan tidak dipenjara. Vonis pengadilan bisa dinegosiasikan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk kepentingan politik (koalisi) jangka panjang. Seorang anggota DPR yang terbukti korupsi dapat dibebaskan dengan kompensasi tidak “mengganggu” pemerintahan (eksekutif). Sedangkan maling kecil-kecilan dari rakyat jelata, bahkan mencuri sepasang sandal jepit bisa segera dipenjara.
Ringannya sanksi hukum dapat kita amati dari miliaran yang mereka korup dari harta Negara, dengan sanksi penjara beberapa tahun saja. Bandingkan dengan pencopet beberapa puluh ribu rupiah yang dihukum dengan waktu yang sama. Disamping itu mereka tidak diharuskan mengembalikan harta yang mereka korup, karena mereka dengan pintar bisa mengatas-namakan keluarganya atas aset yang mereka peroleh dari korupsi. Sehingga sanksi yang ringan ini tidak membuat jera pelakunya, setelah bebas dari penjara mereka bisa menikmati harta miliaran yang mereka korup.
Hal-hal diatas kita berbicara tentang sebuah sistem pemerintahan, itulah faktor penting yang mampu mengatasi masalah korupsi itu. Tanpa sistem yang bersih dan benar (islami), sama halnya mencemplungkan orang-orang bersih kedalam kubangan kerbau yang kotor, lama kelamaan orang-orang bersih ini akan kecipratan dan menjadi kotor juga. Sedangkan sistem yang islami (bersih), bagaikan mata air yang jernih, bahkan orang-orang kotor-pun mau tidak mau akan ikut bersih saat memasuki mata air tersebut. Bisa jadi orang-orang kotor itu akan keluar dari mata air yang jernih itu, karena tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat kotor.
Dalam sistem Islam, seseorang yang telah digaji untuk melakukan pekerjaan maka segala sesuatu diluar gaji bukan lagi menjadi haknya. Harta yang diperoleh dengan curang ini dikenal dengan harta Ghulul ini bisa diperoleh melalui 4 cara; suap (risywah), hadiah (hibah), komisi (‘amulah) dan korupsi.
Rasulullah mengangkat Ibnu Utabiyah untuk menarik zakat Bani Sulaim. Setelah kembali dan menghadap Rasulullah, Ibnu Utabiyah berkata: “Ini untuk engkau dan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepada saya”, lalu Rasulullah bersabda:
“Ini adalah (harta) untuk anda, dan ini (harta yang) dihadiahkan kepadaku. (Jika memang benar itu hadiah) apakah tidak sebaiknya ia duduk saja dirumah bapak atau ibunya, lalu (lihat) apakah hadiah itu akan diberikan kepadanya atau tidak?. Demi zat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, tidak akan ia membawa sesuatu melainkan dihari Kiamat nanti ia akan memikul (kesalahannya) diatas pundaknya” (HR Bukhari).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa jika seseorang untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan telah dibayar maka apapun selain itu bukan menjadi haknya dan haram mengambilnya. Jika ia duduk-duduk saja dirumah (tidak menjadi pejabat) apakah para penyuap akan mengantarkan harta itu kerumahnya?, Tentu tidak!.
Dalam sistem Islam, kontrol terhadap pejabat dilakukan dengan mencatat hartanya saat akan menjabat dan akan dihitung kembali pada periode tertentu, tambahan harta yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan gaji yang diterimanya akan disita oleh Negara dan dia akan dihukum atas kecurangannya itu. Kecuali dia dapat membuktikan bahwa harta itu bukan hasil kecurangan, semisal dia memperoleh warisan keluarga.
Dalam sistem Islam, memberikan perlakukan yang sama dihadapan hukum terhadap pejabat Negara dan rakyat jelata, hal yang biasa seorang Khalifah dikalahkan oleh rakyatnya dipengadilan. Kekalahan Khalifah Ali bin Abi Thalib terhadap seorang Yahudi dalam perkara baju besi, kekalahan Khalifah Umar bin Khaththab terhadap seorang pedagang kuda. Para Qadhi (hakim) lebih takut kepada Allah swt daripada kepada Khalifah, karena Allah swt mampu menyelamatkannya dari Khalifah sedangkan Khalifah tidak mampu menyelamatkannya dari Allah swt.
Dalam sistem Islam, para koruptor akan dihukum ta’zir oleh qadhi, yakni hukuman atas pelanggaran syari’at Allah swt dengan sanksi berdasarkan ijtihad qadhi. Sanksi yang sangat berat bisa diberikan jika kerugian yang diderita umat sangat besar. Sedangkan jika lolos didunia, maka pengadilan Allah swt tidak akan bisa dibohongi, siksa yang pedih telah menunggu diakhirat nanti. Jika harta ghulul itu berupa makanan, maka daging yang berasal dari makanan hasil ghulul ini akan dibakar oleh api neraka. Jika harta ghulul ini berupa mobil, tanah, rumah, dll, maka mereka harus membopong dipundaknya diakhirat nanti. Satu meter persegi saja tanah yang dicuranginya, maka coba bayangkan satu meter persegi potongan lempengan bumi yang harus dibopongnya diakhirat nanti.
Kesimpulan dari penjelasan diatas, faktor kunci untuk mengatasi korupsi adalah sistem Islam, karena sistem ini datang dari Allah swt yang tahu persis tabiat manusia yang diciptakannya. Disamping itu sistem Islam mampu mengontrol pejabat secara sistematik, tidak pandang bulu terhadap siapapun pelaku kejahatan, memberikan sanksi yang tegas, serta sistem ini dilandasi ketaqwaan kepada Allah swt karena adanya ancaman siksaan yang pedih dari Allah swt diakhirat nanti. Sistem sekuler tidak mampu mengatasi masalah korupsi, meskipun diisi oleh orang-orang yang tadinya bersih, lama kelamaan mereka akan menjadi kotor juga karena bergelimang dalam kubangan lumpur yang kotor.
Wallahua’lam
0 comments:
Post a Comment