Oleh: Azhari
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (Al-Kafirun 1-6).
Latar belakang turunnya ayat ini (asbabun nuzul) ketika kaum kafir Quraisy berusaha membujuk Rasulullah saw; "Sekiranya engkau tidak keberatan mengikuti kami (menyembah berhala) selama setahun, kami akan mengikuti agamamu selama setahun pula" Setelah Rasulullah saw membacakan ayat ini kepada mereka maka berputus-asalah kaum kafir Quraisy, sejak itu semakin keras permusuhannya kepada Rasulullah saw.
Dua kali Allah swt memperingatkan Rasulullah saw; “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak menyembah Tuhan yang aku sembah” Artinya, kita sama sekali tidak boleh melakukan peribadatan yang diadakan oleh non-muslim, dalam bentuk apapun!
Dalam kondisi sekarang, maka melakukan do’a bersama orang-orang non-muslim (istighasah), menghadiri perayaan natal, mengikuti upacara pernikahan mereka atau mengikuti pemakaman mereka merupakan cakupan dari surah Al-Kaafiruun. Semua hal itu tidak boleh diikuti oleh kaum muslimin, karena ada hubungannya dengan masalah aqidah dan ibadah.
Orang-orang non-muslim juga tidak ada gunanya mengikuti peribadatan kaum muslimin, karena sama sekali tidak ada nilainya dihadapan Allah swt. Amalan mereka bagaikan fatamorgana atau bagaikan debu yang tertiup angin, tidak berbekas sedikitpun.
Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana ditanah yang datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun (An-Nur 39).
Perumpamaan orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (didunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. (Ibrahim 18).
Sering kita salah kaprah dalam memahami toleransi, kita boleh bertoleransi dengan non-muslim dalam hal mu'amalah saja (perdagangan, industri, kesehatan, pendidikan, sosial, dll) tetapi tidak dalam hal aqidah dan ibadah. Islam mengakui adanya perbedaan, tetapi tidak boleh dipaksakan agar sama sesuatu yang jelas-jelas bebeda.
Diakhir surah dikatakan; “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”, karena tidak mungkin agama kita dicampur-adukkan dengan agama mereka. Islam meyakini bahwa Tuhan sama sekali tidak bisa disamakan dengan makhluk, sedangkan mereka menyembah seorang Nabi (makhluk) yang mereka yakini sebagai tuhan (kristen). Islam meyakini Tuhan Maha Esa dan tidak boleh dipersekutukan dengan lain, sedangkan mereka menyembah tuhan (dewa-dewa) yang dijelmakan dalam banyak patung (hindu, budha dan konghucu). Ini bagaikan air dan minyak, tidak mungkin disatukan!
Lantas bagaimana bisa dikatakan bahwa esensi tuhan semua agama sama, hanya cara penghormatannya yang berbeda?, sehingga setiap manusia yang saleh didalam agamanya masing-masing akan masuk syurga juga. Seperti yang dikampanyekan oleh orang-orang liberal itu.
Wallahua’lam
0 comments:
Post a Comment