MAFAHIM ISLAM

MEMAHAMI ISLAM DENGAN MUDAH

Oleh: Azhari

Piagam Madinah bertujuan membentuk suatu masyarakat yang harmonis dalam Negara Madinah yang terdiri dari berbagai suku dan agama (Islam, Yahudi dan Musyrik). Piagam ini, disamping mengatur antar warga negara dalam Negara Madinah, juga mengatur Negara Madinah dengan luar Madinah (hubungan luar negeri) agar mereka tidak berkomplot dengan kafir Quraisy dalam menyerang Madinah. Teks asli Piagam Madinah tidak terdapat pasal-pasal, A.J. Winsick yang pertama kali membaginya dalam pasal-pasal (47 pasal) dalam bukunya Mohammed en de joden te Madina.

Ada golongan yang meremehkan Piagam Madinah hanya sebatas aktifitas sosial saja, dengan memberikan bantuan dan sumbangan kepada masyarakat tanpa membedakan suku dan agamanya maka telah dianggap menjalankan Piagam Madinah.

Golongan lain beranggapan bahwa Piagam Madinah sebagai dalih bahwa dibolehkan penerapan hukum selain syari’at Islam dalam sebuah Negara. Piagam Madinah dijadikan hujjah (argumen) bahwa tidak boleh monopoli salah satu agama dalam mengatur sebuah negara, artinya, tidak boleh syari’at Islam yang dijadikan UU positif dalam mengatur masyarakat plural yang terdiri dari berbagai suku dan agama.

Mereka berlandaskan pada pasal 35 dari Piagam Madinah yang berbunyi:

Pasal 35: Kelompok-kelompok keturunan Yahudi berlaku ketentuan sama sebagaimana yang berlaku bagi Kaum Yahudi itu sendiri.

Padahal ketentuan dalam pasal 35 ini sebatas menjalankan ritual ibadah dan tradisi mereka. Hal ini ditegaskan dalam pasal 25.

Pasal 25: Kaum Yahudi Bani ‘Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu umah. Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan kaum Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing

Jadi, dalam urusan ritual ibadah dan tradisi maka masing-masing pemeluk bebas menjalankan syari’at mereka, seperti: beribadah, makan, minum, menikah, dll. Tetapi jika mengatur interaksi antar umat di dalam bermasyarakat dan bernegara maka hukum Islam yang diterapkan. Pasal 23 dan 42 dengan tegas menyatakan bahwa jika ada perselisihan di tengah umat maka diselesaikan oleh Muhammad saw menurut hukum Allah swt.

Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah 'azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.

Pasal 42: Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung Piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah 'azza wa jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi Piagam ini.

Dengan demikian kaum Yahudi diperlakukan sebagai kafir dzimmi, kafir dzimmi adalah orang kafir yang tunduk kepada Negara Islam (Madinah) yang menerapkan hukum Islam. Bentuk ketundukannya dengan membayar jizyah kepada negara sehingga jiwa, harta dan kehormatannya dilindungi.

Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).

Argumen lain kebolehan menerapkan hukum selain syari’at Islam adalah hukum Yahudi yang diterapkan dalam Negara Madinah, hal ini disebutkan dalam surah al-Maidah 45.

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim (al-Maidah 45).

Perlu diketahui bahwa tidak semua kisah nabi terdahulu yang tertera dalam al-Quran dijadikan dasar syari’at Islam, hanya syari’at yang telah disunnahkan Rasulullah saw yang dijadikan syari’at Islam. Sedangkan kisah-kisah lain dalam al-Quran yang tidak disunnahkan hanya sebagai ibrah (pelajaran) saja bagi umat Islam.

Syari’at khitan, ibadah qurban dan haji merupakan syari’at Nabi Ibrahim, yang kemudian disunnahkan Rasulullah saw sehingga menjadi syari’at Islam. Jadi, menjalankan haji bukan karena kita menjalankan syari’at nabi Ibrahim tetapi karena Islam telah mewajibkan ibadah haji sesuai yang telah disunnahkan Rasulullah saw.

Beribadah di hari Sabtu juga tertera di dalam al-Quran tetapi bukan bagian dari syari’at Islam tetapi khusus bagi umat Yahudi terdahulu, karena contoh yang diberikan Rasulullah saw kepada umat Islam adalah beribadah di hari Jum’at.

Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina. (al-Baqarah 65).

Jadi, meskipun kisah Nabi terdahulu sama-sama tertera dalam al-Quran, ada yang dijadikan syari’at Islam ketika Rasulullah saw memberikan contohnya, ada yang hanya sekedar ibrah (pelajaran) saja bagi umat Islam. Pelajaran yang dapat kita ambil dari al-Baqarah 65 adalah pembangkangan kaum Yahudi sehingga mereka di azab oleh Allah swt.

Bagitu juga ketetapan Piagam Madinah pasal 21 tentang hukuman qishash atau diyat bagi pembunuh, tidak bisa dikaitkan dengan surah al-Maidah 45 tentang qishash jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, dst-nya. Tetapi pasal 21 mengacu kepada hukum Islam yang tertera dalam surah al-Baqarah 178.

Pasal 21: Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.

Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenan dengan orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula) (Al-Baqarah 178).

Karena dalam hukum Islam jika seseorang yang mencelakai orang lain, misal berkelahi sehingga matanya buta sebelah, maka si pelaku di hukum dengan membayar diyat. Besarnya diyat di hitung oleh Qadhi (hakim) berdasarkan nilai mata yang rusak, kemudian dibayarkan kepada korban.

Diyat pembunuh yang dimaafkan oleh keluarga korban adalah 100 unta atau 1.000 dinar.

Bahwa di dalam (pembunuhan) jiwa itu terdapat diyat berupa 100 unta dan terhadap pemilik emas (ada kewajiban) sebanyak 1.000 dinar.” (HR an-Nasa’i dari Amru bin Hazem).

Diyat terhadap anggota tubuh tergantung cedera yang dialami.

An Nasa’i dari Az Zuhri dari Abu Bakar Bin Muhammad Bin Amru Bin Hazem dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW telah menulis sepucuk surat kepadanya:

Dan terhadap hidung, apabila diambil batangnya maka ada diyat (kompensasi) untuknya; terhadap lidah ada diyat; terhadap dua bibir ada diyat; terhadap dua biji mata ada diyat; terhadap kemaluan ada diyat; terhadap tulang rusuk ada diyat; terhadap dua mata ada diyat; terhadap satu kaki ada setengah diyat; terhadap otak sepertiga diyat; terhadap bagian dalam tubuh ada sepertiga diyat; dan terhadap persendian ada lima belas unta (HR an-Nasa’i).

Sementara hukum Yahudi (al-Maidah 45), mata pelaku harus di congkel sebelah karena ”mata dengan mata” Terlihat beda nyata antara hukum Islam dan Yahudi, serta membuktikan bahwa yang diterapkan dalam Negara Madinah berdasarkan Piagam Madinah adalah hukum Islam bukan hukum Yahudi.

Disamping itu, bagaimana mungkin Rasulullah saw menjalankan syari’at Yahudi dalam Negara Madinah untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat Madinah yang plural, sementara jelas-jelas pasal-pasal dalam Piagam madinah (pasal 23 dan 42) menyatakan bahwa setiap perselisihan dikembalikan kepada hukum Allah swt dan rasul-Nya. Bahkan Umar bin Khaththab sekedar membawa selembar kitab Taurat dan membacanya, membuat Rasulullah saw murka:

Tidakkah aku datang dengan membawa kertas putih bersih, seandainya saudaraku Musa melihatku, tentu ia tak akan berbuat apa-apa selain mengikutiku (HR Ahmad, Ibnu Syaibah dan al-Bazar).

Sekedar meniru perilaku Yahudi saja dilarang, apalagi meniru hukum Yahudi.

Biarkanlah janggut, pendekkanlah kumis, rubahlah ubanmu dan janganlah kamu menyerupai orang Yahudi dan Nasrani (HR Muslim).

Dicantumkannya syari’at Nabi terdahulu dalam al-Quran merupakan hal yang wajar karena agama ini (Islam) merupakan agama terakhir dan penyempurna bagi agama-agama terdahulu. Sebelum Muhammad saw telah berlalu banyak Nabi dan Rasul membawa syari’atnya sendiri-sendiri.

Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya (An-Nisa’ 163).

Keimanan kepada nabi dan rasul terdahulu untuk membenarkan kenabiannya dan apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka, bukan untuk mengikuti risalah mereka. Dengan diutusnya Muhammad saw maka seluruh manusia harus tunduk kepada risalah yang di bawa oleh Muhammad saw (al-Quran dan as-sunnah), meninggalkan agama mereka sebelumnya dan hukum-hukum dalam kitab mereka, kemudian memeluk Islam.

Apalagi Nabi-nabi palsu yang datang setelah Muhammad saw, Musailamah, Mirza Ghulam Ahmad, Lia Eden, Mushadeq, dll, tentu saja harus di buang jauh-jauh dari kehidupan kita, agar aqidah ini selalu bersih dan terjaga dari kesesatan! Karena agama yang di ridhai Allah swt hanyalah Islam (Ali Imran 19).

Khatimah:

1. Dalam hal menjalankan ritual ibadah dan tradisi seperti: makan, minum, menikah, dll, maka Piagam Madinah memberi kebebasan masing-masing pemeluk agama menjalankan agamanya masing-masing.

Pasal 25: Kaum Yahudi Bani ‘Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu umah. Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan kaum Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing

Pasal 35: Kelompok-kelompok keturunan Yahudi berlaku ketentuan sama sebagaimana yang berlaku bagi Kaum Yahudi itu sendiri.

2. Dalam hal terkait dengan interaksi dalam masyarakat maka syari’at Islam yang diterapkan.

Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah 'azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.

Pasal 42: Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung Piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah 'azza wa jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi Piagam ini.

3. Yahudi, Nasrani dan Musyrik diperlakukan sebagai kafir dzimmi, dimana ini bagian dari syari’at Islam (at-Taubah 29), mereka membayar jizyah sebagai bentuk ketundukan mereka atas negara Islam dan syari’at Islam, sehingga jiwa, harta dan kehormatannya dilindungi

Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).

4. Syari’at nabi dan rasul terdahulu yang dikisahkan dalam al-Quran tidak otomatis menjadi syari’at kita (Islam), syari’at nabi terdahulu menjadi syari’at Islam jika telah disunnahkan Rasulullah saw. Sedangkan yang tidak disunnahkan bisa dijadikan ibrah (pelajaran) bagi umat Islam.

Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian (az-Zukhruf 54-56).

Wallahua’lam

Bahan Bacaan:
1. Shirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam al-Muafiri
2. Masyarakat Madinah pada masa Rasululah saw, Akram Diya’al Umari
3. Sistem Sanksi dalam Islam, Abdurrahman al-Maliki

0 comments:

AZHARI

AZHARI

Renungan

KEBERANIANKU TIDAK AKAN MEMPERPENDEK UMURKU

KETAKUTANKU TIDAK AKAN MEMPERPANJANG UMURKU

AKU AKAN TERUS BERJUANG SEMAMPUKU

UNTUK KEBENARAN DAN KEADILAN

HINGGA ALLAH MEMANGGILKU PULANG

ALLAHU AKBAR !



free counters

Pernyataan

Silahkan mengutip artikel di blog ini karena hak cipta hanya milik Allah swt.