Oleh: Azhari
Pernahkah anda mengalami ketika akan membeli barang bekas ditempelkan label AS IS (apa adanya), dimana si penjual tidak melayani pertanyaan dari pembeli. Kondisi barang silahkan lihat dan periksa sendiri, suka beli dan nggak suka nggak usah beli.
Untuk barang baru keterbukaan informasi dari penjual mencukupi dari informasi yang tertera pada kemasan; jenis produk, berat, komposisi, tanggal kadaluarsa, harga barang dan lain-lain. Kecuali barang baru tesebut mengalami kerusakan saat pembuatan, pengiriman atau penyimpanan sehingga mengalami cacat, dalam hal ini penjual harus menjelaskan kepada pembeli, mereka tidak boleh menyembunyikan cacat tersebut. Artinya, tidak perlu penjual menjelaskan setiap barang yang di pajang, karena informasi pada kemasan sudah mencukupi kecuali ada pembeli yang bertanya hal-hal tertentu maka penjual perlu menjelaskan sepanjang yang dia tahu.
Kita lebih fokus membahas barang bekas dengan status AS IS, dimana barang apa adanya seperti yang terlihat dan penjual tidak melayani pertanyaan pembeli. Permasalahan utama barang AS IS adalah jika pembeli tetap ngotot bertanya tentang kondisi barang, sementara sebetulnya penjual TAHU kondisi barang yang ditanyakan tetapi karena status AS IS maka penjual tidak menjawab pertanyaan.
Azas Jual Beli adalah Kejujuran
Prinsip dasar jual beli adalah KEJUJURAN, hal ini dapat kita temukan dari banyak hadits yang terkait jual beli.
Jual beli menipu dengan cara najasy, dimana seorang pembeli yang pura-pura akan membeli dengan menaikkan harga tawar, sehingga pembeli lain terpaksa membeli dengan harga yang tinggi. Biasanya penipu ini bekerjasama dengan penjual. Di pasar bisa ditemukan penjual jam tangan palsu, disekeliling penjual adalah para pembeli palsu yang menawar dengan harga tinggi kemudian pura-pura membeli.
Janganlah kalian saling perbuatan nasjasy (HR Abu Dawud, Ibnu Majah & Tirmidzi).
Penjual harus jujur dengan kondisi barang. Terutama barang bekas, jika pembeli bertanya tentang kondisi barang maka jika penjual TAHU kondisi barang waijb menjelaskan kepada pembeli. Penjual tidak boleh menyembunyikan cacat barang atau menampakkan seolah-olah barangnya bagus padahal cacat (tadlis).
Dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika keduianya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka akan dicabut barokah jual beli dari keduanya (HR Abu Dawud dan Nasa'i, dishahihkan oleh Al-Bani).
Menjual barang yang jelek dengan cara menipu. Terutama buah-buahan dan sayuran, yang bagus di pajang di bagian atas, sementara yang jelek di bagian bawah. Ketika pembeli memesan buah-buah, penjual mengambil buah-buahan yang di bawah sehingga pembeli tetipu karena menyangka membeli buah-buahan yang bagus. Kalau mau jujur, penjual bisa saja menjelaskan bahwa buah-buahan yang ini jelek dan di jual dengan harga yang lebih murah.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam melewati seorang pedagang dipasar. Di samping pedagang tersebut terdapat seonggok makanan. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memasukkan tangannya yang mulia ke dalam makanan itu, dan Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassalam merasakan ada sesuatu yang basah di bagian bawah makanan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bertanya kepada pedagang: “Apa ini, wahai pedagang?” Orang itu menjawab:”Makanan itu terkena air hujan, wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam!” kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Mengapa enggkau tidak menaruhnya diatas, agar bisa diketahui oleh pembeli? Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami” (HR. Muslim).
Syarat syahnya jual beli ada 2: 1) Person yang melakukan aqad jual beli 2) Barang yang akan diperjualbelikan.
Person, masing pihak baik pembeli maupun penjual ahrus ridha, jika pembeli tertipu karena berbagai hal atau di paksa membeli maka tentu saja dia tidak ridha sehingga jual beli tidak syah. Tentu saja, mana orang yang ridha untuk di tipu.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling keridhaan di antara kalian. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (An-Nisa 29).
Hanya saja jual beli itu terjadi dengan asas keridhan (HR. Ibnu Hiban & Ibnu Majah).
Barang, barang yang diperjualbelikan harus diketahui kondisinya, pembeli bisa melihat jika ada cacat dan penjual harus memberikan yang transparan sepanjang dia TAHU. Menyembunyikan informasi dengan berbagai alasan adalah bentuk penipuan.
Tidak halal bagi seseorang menjual sesuatu barang melainkan jika ia telah menjelaskan keadaan barang yang dijualnya dan tidak boleh bagi siapa yang mengetahui hal tersebut (cacat) kecuali ia menjelaskannya (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
Penipuan yang lain adalah dengan menghadang pedagang dari luar daerah sebelum masuk pasar, kemudian membelinya di tempat. Tujuannya agar pembeli bisa membeli dengan harga yang lebih murah, karena penjual tidak tahu harga pasaran saat itu.
Jangan kalian sambut orang-orang yang datang itu, maka barang siapa yang menyambutnya dan membeli barangnya, jika kemudian mereka datang ke pasar (ternyata dia mengetahui harganya) maka dia berhak untuk khiyar (HR. Muslim).
Khiyar maksudnya, karena penjual telah tertipu karena menjual dengan harga murah maka dia di beri pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya.
Dari penjelasan hadits di atas dapat di tarik benag merah prinsip dasar jual beli adalah KEJUJURAN; baik dalam hal informasi cacat barang, jangan pura-pura membeli, membeli sebelum masuk pasar agar harganya murah dan menjual barang jelek dengan memajang barang bagus. Jual beli yang tidak dilandasi kejujuran tidak syah dan tidak memperoleh berkah.
Rasulullah saw selalu mengingatkan pedagang untuk jujur, karena sangat mudah pedagang tergelincir untuk menipu. Ketika di tawar dikatakan modal aja belum nyampe. Ketika ditanya kualitas barangnya, dikatakan barang bagus buatan luar negeri padahal buatan lokal.
Status AS IS
Setelah kita mengambil kesimpulan bahwa prinsip dasar jual beli adalah KEJUJURAN, maka kita coba telaah Jual Beli dengan Satus AS IS.
Fakta barang yang di beri label status AS IS umumnya barang bekas, pembeli dipersilakan melihat barang sepuasnya, memeriksa, mengetes, bahkan kalau perlu membawa seseorang yang ahli (valuer) terhadap barang yang akan di beli. Jika berupa mobil maka valuernya seorang mekanik. Status AS IS berarti pula penjual TIDAK MELAYANI pertanyaan pembeli. Jadi intinya adalah, penjual mau katakan: ”Barang saya kondisinya apa adanya seperti yang anda lihat, saya tidak melayani peranyaan anda. Anda suka silakan beli, tidak suka tidak usah beli!”
Masalahnya adalah, ketika penjual TAHU cacat barang bekas tersebut, sementara pembeli menanyakan kondisi barang. Tetapi karena telah di beri label AS IS maka penjual tidak berlepas tangan untuk tidak menjawab pertanyaan pembeli. Dengan kondisi ini maka penjual telah melakukan penipuan dengan tidak memberikan informasi cacat barang, sementara dia TAHU dengan berlindung di balik status AS IS. Padahal, Rasulullah saw selalu mengingatkan pedagang untuk berlaku jujur, termasuk dalam memberikan informasi cacat barang.
Selama penjual TAHU makan dia wajib MENJELASKAN, karena hadits jelas mensyaratkan demikian. Penjual TAHU: bagi siapa yang mengetahui maka wajib MENJELASKAN: menjelaskan keadaan barang. Dalam hal ini tidak ada pengecualian, karena hadits bersifat umum (mujmal) berlaku untuk seluruh transaksi jual beli. Apakah barang baru atau bekas, apakah barang di beri label AS IS atau bukan, apakah barang elektronik atau bukan, apakah pembelinya muslim atau bukan. Penjual harus JUJUR sepanjang dia TAHU kondisi barang.
Tidak halal bagi seseorang menjual sesuatu barang melainkan jika ia telah menjelaskan keadaan barang yang dijualnya dan tidak boleh bagi siapa yang mengetahui hal tersebut (cacat) kecuali ia menjelaskannya (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
Wallahua’lam
0 comments:
Post a Comment