Oleh: Azhari
Ketika mengunjungi salah satu Optik terkenal langganan saya, pegawai wanita yang biasanya melayani masuk menggunakan jilbab, saya kaget ketika masuk ruangan dia melepas jilbabnya. Ketika saya tanyakan kenapa di lepas?, jawabnya: “Nggak boleh Pak”, mungkin maksudnya pemilik Optik melarang karyawannya berjilbab.
Tetangga saya ingin sekali pakai jilbab, tapi hingga kini tidak pakai jilbab dengan alasan dilarang suaminya: “Kamu pendek nggak pantas pakai jilbab”, begitu alasan suaminya. Mungkin suaminya mengira Allah swt memberikan toleransi buat orang pendek untuk tidak menutup aurat. Ini lebih parah, suami yang seharusnya membimbing dalam Islam malah menjerumuskannya ke dalam kemaksiaatan dengan menentang aturan Allah swt.
Kasus di atas merupakan rentetan panjang pelarangan jilbab, baik oleh institusi (swasta dan pemerintah) maupun oleh pribadi (bapak dan suami). Ada yang terungkap ke publik seperti kasus RS Mitra Keluarga Bekasi, ada yang tidak terungkap seperti kasus Optik. Lucunya, RS Mitra Keluarga setelah di demo karyawannya dan tekanan masyarakat akhirnya membolehkan karyawannya menggunakan jilbab dengan syarat tetap pakai baju tangan pendek seragam RS. Hebat ya, RS Mitra Keluarga bisa membuat hukum sendiri cara menutup aurat, padahal aturan Islam tentang aurat telah jelas dan tegas.
Dalam kondisi di atas, ketika institusi dan pribadi melakukan pelarangan terhadap jilbab berarti mereka telah memposisikan dirinya lebih tinggi dari Allah swt. Bagaimana tidak, Allah swt telah menetapkan hukum-hukum untuk mengatur kehidupan manusia, lantas mereka menentangnya dengan mengharamkan apa-apa yang telah diwajibkan Allah swt.
Mereka yang mematuhi larangan itu sama saja telah menghambakan diri kepada tuhan-tuhan baru, mengabaikan Tuhan asli yang seharusnya mereka patuhi. Lantas apa makna bacaan yang setiap saat mereka baca dalam shalat:
Innashshalaatii wanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahi rabbil’aalamiin: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata untuk Allah.
Sementara di luar shalat hidup dan matinya diserahkan kepada selain Allah swt.
Atau apa makna bacaan:
Iyyaakana’budu waiyyakanasta’iin: Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan (al-Fatihah 5).
Sementara di luar shalat mereka begitu takutnya kepada manusia sehingga meminta pertolongan kepadanya, dengan alasan takut di pecat dari pekerjaan, takut dimarahi orang tua atau takut di cerai suami.
Tidak selayaknya kita menempatkan manusia di atas posisi Tuhan, lebih takut kepada manusia daripada kepada Tuhan atau minta tolong kepada manusia dan melupakan pertolongan Tuhan. Karena syurga dan neraka milik Allah swt, bukan milik manusia-manusia itu. Menentang manusia paling-paling sanksinya di dunia, sementara menentang Allah swt sanksinya dunia dan akhirat, tidak tanggung-tanggung berupa azab neraka yang dahsyat.
Disisi lain, kita memang diharuskan ta’at kepada institusi, orang tua dan suami tetapi selama tidak bertentangan dengan aturan Allah swt. Ketika perintah mereka bertentangan dengan aturan Allah swt maka tidak wajib untuk dita’ati, tidak ada keta’atan dalam kemaksiaatan.
Tidak ada keta’atan kepada seseorang dalam hal kemaksiatan kepada Allah. Sesungguhnya keta’atan itu dalam hal kebaikan (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa’i).
Kasus di atas merupakan sekelumit penentangan aturan Allah swt oleh manusia. Seperti gunung es, penentangan yang lebih besar adalah penentangan penguasa yang tidak mau menerapkan aturan Islam dalam pemerintahannya. Ini lebih berat lagi hisab dan azabnya karena ketika sebuah aturan yang bertentangan dengan Islam ditetapkan maka jutaan orang akan ikut menentang Allah swt. Na’uzubillah!
Wallahua’lam

0 comments:
Post a Comment