Mengadopsi (mengangkat) anak biasanya dilakukan dengan mengambil
anak yatim dan dhu’afa, membesarkan, mendidik dan mengasuhnya hingga anak-anak
ini mempunyai masa depan lebih baik. Ada juga pasangan yang sulit mempunyai
anak “memancing” dengan cara mengadopsi anak, meskipun secara ilmiah sulit
dibuktikan kebenarannya. Mengadopsi anak adalah perbuatan mulia, terutama jika
dilakukan terhadap anak yatim dan dhu’afa tetapi beberapa hal harus
diperhatikan agar tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Orang tua angkat yang memperlakukan anak adopsi seperti anak
kandung sendiri sah-sah saja selama perlakuan sebatas tidak membedakan kasih
sayang antara anak kandung dan anak adopsi/angkat. Tetapi jika perlakuan
menyangkut masalah nasab (keturunan), warisan dan perwalian maka anak adopsi
berbeda dengan anak kandung.
Nasab (keturunan)
Anak adopsi tidak boleh dinasabkan kepada orang tua angkatnya
dengan menambahkan nama orang tua angkat dibelakang namanya, misal: menambahkan
nama Fahruddin untuk orang tua angkat yang bernama Fahruddin. Anak adopsi tetap
menggunakan nama orang tua kandung dibelakang namanya.
Rasulullah saw mengadopsi Zaid, budak dari Khadijah, menjadi
anaknya sendiri sehingga sering di panggil oleh masyarakat sebagai Zaid bin
Muhammad. Allah swt menurunkan surah Al-Ahzab ayat 5 tentang larangan
menggunakan nama bapak angkat, kemudian Rasulullah saw kemudian mengganti nama
Zaid bin Muhammad menjadi Zaid bin Haritsah (Haritsah ayah kandung Zaid).
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka (Al-Ahzab 5).
Rasulullah saw menegaskan,
Siapa-siapa yang memanggil seseorang kepada yang bukan nama
bapaknya, sedangkan dia tahu bukan bapaknya maka diharamkan kepadanya masuk
syurga (HR. Bukhari dan Muslim).
Kasus penambahan nama belakang ini juga terjadi ketika seorang
istri menambahkan nama suami dibelakang namanya, misal: Nia Ramadhani yang
menikahi keluarga Bakrie mengganti namanya secara legal melalui Pengadilan
menjadi Ramadhania Ardiansyah Bakrie. Hal ini lazim terjadi di Indonesia, istri
pejabat, pengusaha atau orang biasa menambahkan nama suami dibelakang namanya. Seorang
wanita menikah dengan seorang laki-laki bukannya menjadi istri tetapi menjadi
anak dari suaminya. Ini perbuatan bathil yang bertentangan dengan Islam, istri
tetap harus dinasabkan kepada bapaknya, bukan suaminya.
Warisan
Anak adopsi tidak mempunyai hak waris karena warisan hanya
diberikan kepada ahli waris yang berhubungan nasab dengan pewaris. Hubungan
nasab antara lain istri, suami, anak, cucu, bapak, ibu, saudara dan seterusnya
(An-Nisa’ 11-12), dalam hal ini anak adopsi tidak termasuk ahli waris.
Lantas bagaimana agar anak adopsi terjamin kehidupannya
sepeninggal orang tua angkatnya? Jaminan hidup bisa diberikan dalam bentuk
hibah ketika orang tua angkat masih hidup atau dengan meninggalkan wasiat untuk
memberikan sebagian harta kepada anak adopsi, wasiat tidak boleh melebihi 1/3
harta waris. Dengan demikian sang anak bisa melanjutkan kehidupannya dan
membiayai pendidikan hingga bisa mandiri.
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertaqwa (Al-Baqarah 180).
Perwalian
Anak adopsi yang telah baligh diperlakukan seorang yang bukan
mahram, mereka tidak boleh melihat aurat, berkhalwat dan bersentuhan dengan
orang tuanya. Jika anak adopsi seorang wanita maka saat menikah orang tua
kandungnya yang berhak menjadi wali atau keluarga laki-laki yang senasab
dengannya, bukan orang tua angkatnya.
Sangat penting menjelaskan kepada anak adopsi siapa orang tua
kandungnya, sehingga mereka tahu siapa orang yang senasab dengan dirinya, untuk
mencegah mereka menikah dengan orang-orang yang haram dinikahinya. Misal,
karena tidak tahu siapa orang tua kandungnya kemudian menikahi saudaranya
sendiri dan ini pernah terjadi.
Mereka diharamkan mengawini ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, keponakan perempuan, mertua perempuan dan lain-lain (An-Nisa’
23-24).
Walhasil, adopsi yang dibolehkan Islam dalam hal memberikan
kehidupan (makanan, pakaian dan tempat tinggal), pengasuhan dan pendidikan
hingga mereka mandiri. Dilarang memperlakukan anak adopsi seperti anak kandung
dalam hal nasab, warisan dan perwalian.
Wallahua’lam
0 comments:
Post a Comment