Oleh: Azhari
Kehidupan ini bagaikan garis linier, antara dunia dan akhirat
merupakan satu garis yang bersambung. Kita lahir ke dunia, suatu saat akan
mati, kemudian dibangkitkan (hidup) kembali di akhirat. Dunia merupakan
kehidupan pertama sebelum mengalami kehidupan kedua di akhirat, semua tindakan
di dunia harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti, gagal di dunia maka
gagal di akhirat.
Istilah dunia-akhirat harus seimbang adalah konsep yang keliru,
karena seimbang (balance) menggambarkan garis yang paralel bukan linier. Asumsi
yang salah ketika dunia di isi dengan bekerja dan akhirat di isi dengan shalat,
karena bekerja juga untuk meraih pahala sebagai bekal akhirat.
Dengan konsep kehidupan linier maka Islam tidak mengenal pemisahan
kehidupan dunia dengan agama (sekuler). Semua sikap perilaku kita di dunia
harus sejalan dengan kemauan Allah swt (syari’at) karena standar kelulusan di
akhirat nanti dengan parameter syari’at, benar-salah syari’at yang menentukan.
Seorang teman beragama Budha yang sering di ajak diskusi
menjelaskan bahwa dalam agama Budha kehidupan tidak berawal dan tidak berakhir,
maksudnya tidak ada keyakinan datangnya kiamat. Seseorang yang telah mati
jasadnya rusak tetapi ruhnya abadi dan pindah ke jasad yang baru (reinkarnasi).
Jasad baru yang akan dimasuki ruh tergantung perbuatannya terdahulu. Manusia
yang sering maksiat bisa saja berinkarnasi menjadi hewan, tetapi hewan yang
baik bisa saja berinkarnasi menjadi manusia. Jika anda berfikiran nakal, maka
pasti berharap berinkarnasi menjadi anjing pudel peliharaan artis cantik, di
gendong, di belai, dimandikan, bahkan di ajak tidur bareng.
Setelah mengalami reinkarnasi, menjalani kehidupan, kemudian mati,
selanjutnya reinkarnasi kembali. Begitu seterusnya (bisa ribuan tahun) hingga
mencapai tingkat kesucian yang akhirnya menyatu dengan Tuhan, disini
reinkarnasi berhenti. Bisa anda bayangkan betapa “capeknya” menjalani kehidupan
reinkarnasi ini, hidup-mati-hidup lagi. Tidak ada harapan penghargaan (reward)
atas perbuatan baik dan tidak khawatir terhadap sanksi (punishment) atas
perbuatan jahat, penghargaan dan sanksi diberikan dalam bentuk reinkarnasi.
Berbeda dengan Islam, kita tidak boleh main-main dengan kehidupan
di dunia jika tidak ingin menyesal nanti. Kesalahan yang telah di perbuat tidak
ada peluang perbaikan setelah mati karena Islam tidak mengenal reinkarnasi.
Taubat hanya bisa dilakukan di dunia jika sudah mati maka pintu taubat tertutup.
Sesungguhnya taubat yang di terima Allah adalah taubat orang-orang
yang melakukan kejelekan karena kebodohan, kemudian mereka segera bertaubat
(An-Nisa’ 17).
Jangan sampai menyesal sehingga memohon kepada Allah swt untuk
dikembalikan ke dunia agar bisa melakukan amal saleh, tentu tidak akan
dikabulkan oleh Allah swt.
Ya Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal
saleh terhadap apa yang telah kutinggalkan (dahulu) (Al-Mukminun 99-100).
Allah swt tidak membenci manusia yang berbuat salah karena
mustahil ada manusia yang bebas dari kesalahan, ini fitrah manusia. Allah swt
membenci manusia sombong yang tidak mau mengakui kesalahannya sehingga tidak
mau bertaubat. Allah swt menyayangi manusia yang segera bertaubat setiap
melakukan kesalahan, Allah swt membuka tangan lebar-lebar terhadap hamba-Nya
yang bertaubat berapapun besar dosanya. Tentu saja taubat yang sungguh-sungguh
(nasuha) dengan tidak mengulangi perbuatan yang sama.
Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang’ (Az-Zumar 53).
Walhasil dengan konsep kehidupan linier, ada kehati-hatian dalam
menjalani kehidupan, ada ukuran perbuatan yang diridhai Allah swt, ada rasa
optimis berupa penghargaan atas perbuatan baik, serta ada kejelasan tujuan
hidup yang akan di capai yakni syurga.
Sekarang anda bisa bandingkan kesempurnaan Islam bukan…
Walahua’lam
0 comments:
Post a Comment