Oleh: Azhari
Gelombang pro dan kontra terhadap RUU APP (anti pornografi dan porno aksi) seakan tak ada habisnya. Tokoh Islam dan kaum muslimin menuntut agar RUU APP segera disahkan menjadi UU, sedangkan LSM, artis dan non-muslim menolak RUU APP diundangkan. Umumnya alasan mereka karena menghambat kebebasan, merugikan perempuan, berbau Arab, ini urusan pribadi dan bukan Negara, serta banyak alasan lainnya yang mereka kumandangkan. Sedangkan partai politik hanya PDIP dan PDS yang menolak RUU APP, notabene mereka terdiri dari orang-orang nasionalis-sekuler dan non-muslim.
Kelompok yang menamakan dirinya ”Aliansi Bhineka Tunggal Ika” berdemontrasi menolak RUU APP di Bundaran HI tanggal 22 April 2006, demo ini diikuti Shinta Nuriah (istri Gus Dur), Inul, Rieke (Oneng), Jajang C. Noer, Ratna Sarumpaet, etnis Cina, bahkan para waria membuka payudaranya sebagai wujud penolakannya. Lihat 1
Dalam sebuah wawancara tentang RUU APP di situs JIL, Gus Dur mengutarakan bahwa Al-Quran kitab suci paling porno di dunia, Gus Dur menyatakan bahwa didalam Al-qur’an ada ayat tentang Ibu menyusui anaknya selama dua tahun berturut-turut. Jika menyusui tentu mengeluarkan tetek, cabul dong ini! Sedangkan dalam Injil tidak ada ayat seperti itu. Kata Gus Dur sambil terbahak-bahak. Lihat 2 & 3 Begitulah gaya Gus Dur menolak RUU APP meskipun secara organisatoris NU mendukung RUU APP, kelihatannya Gus Dur sudah ditinggalkan para Kiai NU.
Bisa anda bayangkan jika yang berucap seperti Gus Dur adalah tokoh non-muslim, bisa jadi demo besar-besaran agar tokoh itu minta maaf atau tuntutan agar tokoh itu dihukum karena telah melecehkan Al-Quran, tetapi tidak ada satupun yang mempermasalahkan ucapan Gus Dur. Entah kenapa?
Jika diamati maka dapat kita buat peta para penentang RUU APP:
1. Orang-orang yang terganggu nafkahnya. Ini umumnya para artis (Inul, Oneng dan sejenisnya) yang terhambat usahanya untuk mencari rezki karena mereka menjual kecantikan, kemolekan tubuhnya dan tarian erotisnya. Termasuk dalam hal ini LSM-LSM yang menjajakan ideologi sekuler Barat (Yeni Rosa dkk.), seperti: demokrasi, emansipasi wanita, kesetaraan gender, HAM, dll, dimana umumnya LSM ini didanai asing.
2. Konspirasi kafir merusak aqidah secara sistematis. Ini dilakukan oleh orang-orang kafir (Ratna Sarumpaet dkk.) dengan tujuan agar semakin jauh umat Islam dari tuntunan Al-Quran dan as-sunnah. Dengan demikian mereka memperalat kaum muslimin dan kita menjadi budak budaya dan produk mereka.
3. Para pengusung ideologi sekuler. Ini termasuk tokoh-tokoh Islam yang menolak RU APP (Gus Dur, Shinta Nuriah, Faisal Basri, Dawam Raharjo, Goenawan Muhamad, dll.), mereka memperjuang ideologi sekuler yang sama sekali tidak ada titik-temunya dengan Islam.
Kita tidak habis fikir, bagaimana mungkin tokoh-tokoh Islam sendiri yang menentang sebuah RUU yang mengakomodasi kepentingan umat Islam, masih layakkah mereka disebut sebagai tokoh Islam. Padahal Allah swt memperingatkan bahwa orang-orang yang bersama orang-orang kafir dalam membela kemaksiaatan maka mereka termasuk golongan mereka (Al-Maidah 51, Ali Imran 100, An-Nisa’ 138-139 & Al-Mumtahanah 1).
Semua argumentasi mereka menolak RUU APP sungguh tidak masuk akal. Mereka menolak karena menghambat kebebasan, sebetulnya kebebasan apa yang mereka perjuangkan, kebebasan tanpa bataskah? Jika ingin bebas maka hidup saja sebagai atheis atau kafir, karena Islam mempunyai nilai untuk membatasi kebebasan seseorang; berperilaku, berucap atau berpakaian ada batasnya.
Mereka menolak karena merugikan kaum perempuan, ini lebih tidak masuk akal lagi. RUU APP berisikan aturan agar perempuan tidak diperalat sebagai komoditas komersial. Perempuan agar dikembalikan kepada fitrahnya sebagai manusia yang mempunyai akal dan kehormatan. Ketika perempuan hanya dihargai karena kecantikannya, sama saja halnya ketika kita menghargai sebuah cincin emas yang indah, tetapi tidak mempedulikan emasnya berapa karat dan berapa gram beratnya. Sadarkah mereka, ketika menjajakan kecantikan dan keseksiannya dengan imbalan sejumlah uang, sebetulnya mereka telah menjadi obyek kepuasan kaum laki-laki. Disamping itu, industri raksasa cosmetic dan fashion (yang umumnya dikuasai Kapitalis Barat) sangat diuntungkan dari budaya hedonis ini.
Mereka juga menolak karena RUU ini berbau Arab. Menggelikan, ketika mereka menolaknya karena berbau Arab, tetapi tanpa ia sadari nama mereka yang menolak juga berbahasa Arab. Jika semua yang berbau Arab mau ditolak, lantas shalat pakai bahasa apa? atau nikah pakai tata cara apa?. Padahal Islam tidak bisa dilepaskan dari yang berbau Arab karena Al-Quran sendiri berbahasa Arab.
Walhasil penolakan terhadap RUU APP sudah menyimpang dari logika akal sehat. Mengaku Islam tetapi tidak mau diatur secara Islam. Mengaku tokoh Islam tetapi menentang penerapan syari’at Islam. Mengaku memperjuangkan perempuan tetapi membiarkan perempuan dilecehkan dan dieksploitasi secara komersial. Maka tepatlah ungkapan KH Athian Ali M. Da’i MA (Ulama Bandung) dalam sebuah debat dengan Nursyahbani (PKB) di Metro TV, bahwa: ”Orang yang tidak beragama yg menolak RUU APP, karena seorang yang beragama tidak akan keberatan diatur secara agama”
Wallahua’lam
Maraji’:
1. http://www.republika.co.id/ (23 April 2006): Menolak Pornografi tapi Tolak RUU APP
2. Hidayatullah.com (16 April 2006): Abdurrahman Wahid: "Kitab Suci yang Paling Porno di Dunia adalah Al-Qur'an, ha-ha-ha..."
3. islamlib.com (10 April 2006): ”Jangan bikin aturan berdasarkan islam saja!” Sebagian wawancara Gus Dur diatas telah dihapus oleh JIL, khawatir efek yang ditimbulkannya?
0 comments:
Post a Comment