Oleh: Azhari
Beberapa hari belakangan ini, media cetak dan elektronik disibukkan dengan berita kasus tuduhan zina Gustiranda terhadap istrinya Nia Paramitha. Gustiranda menggugat cerai istrinya karena diyakini telah berselingkuh (berzina) dengan seorang petinggi sebuah partai politik.
Gustiranda menuduh Nia Paramitha sang istri telah berzina sehingga hamil 6 minggu, hal ini diketahui setelah Nia Paramitha melakukan aborsi padahal mereka telah pisah ranjang selama 3 bulan. Disisi lain Nia Paramitha menolak tuduhan dan bersumpah bahwa kehamilannya hasil hubungan dengan suami sendiri (Gustiranda). Lihat 1 & 2
Dalam kasus seperti ini Islam mempunyai solusi yang dikenal dengan “Li’an” Li’an berasal dari kata al-la’nu atau la’an (laknat/kutukan), dimana suami dan istri saling melaknat dirinya sendiri jika satu sama lain berdusta.
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar (An-Nur 6-9).
Ketika seorang istri dituduh berzina oleh suaminya, maka Qadhi (hakim) akan memanggil keduanya dan diminta untuk berkata sejujurnya. Jika keduanya tetap dengan pendiriannya yakni suami menuduh istrinya berzina, sedangkan istri menolak tuduhan tersebut maka keduanya diputuskan dengan Li’an.
Li’an dilakukan dengan 4 kali sumpah antara suami dan istri dihadapan Qadhi, suami mengucapkan: “Demi Allah aku berkata benar tentang dirinya” Kemudian dijawab oleh sang istri: “Demi Allah dia berdusta” Sebelum mengucapkan sumpah kelima sang Qadhi memperingatkan: “Bertakwalah engkau kepada Allah, sesungguhnya ini adalah kewajiban, sedangkan adzab dunia lebih ringan daripada adzab akhirat” Jika kedua pihak masih bersikukuh dengan pendiriannya maka diucapkan sumpah kelima oleh suami: “Laknat Allah atas diriku jika aku termasuk orang yang berdusta atas tuduhan zina terhadap istriku” Kemudian istri menjawab: “Aku bersaksi atas nama Allah bahwa ia telah berdusta” Tuntaslah proses Li’an dan tidak perlu sumpah pocong, karena tidak dikenal didalam Islam.
Suami dan istri dipisahkan selamanya, tidak boleh rujuk hingga akhir hayatnya. Suami juga tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan tempat tinggal dan makanan kepada bekas istrinya. Jika isteri melahirkan (dari tuduhan zina tersebut) maka sang anak tidak boleh dinasabkan (keturunan) kepada bapaknya. Lihat 3, hal 244-249
Kasus Li’an terjadi beberapa kali dizaman Rasulullah saw, antara lain Ashim bin Adi (HR Bukhari), Uwaimir al-Ajlani (HR Bukhari), Hilal bin Umayyah (HR Abu Dawud) yang bermula’anah (melakukan L’ian) dengan masing-masing isterinya. Lihat 4, hal 142-145 Lantas bagaimana konsekuensinya terhadap suami & istri setelah Li’an?, karena mereka bersedia dilaknat Allah swt jika berdusta maka Allah swt memberikan azdab terhadap salah satu dari mereka yang berdusta.
Jika suami menolak melakukan Li’an, maka dia dianggap telah melakukan tuduhan palsu (qadzaf) terhadap wanita baik-baik dan dikenai hukuman (had) dengan 80 kali cambukan (jilid). Begitulah Islam menjaga kehormatan wanita, tidak boleh seseorang seenaknya menuduh wanita berbuat zina tanpa mendatangkan 4 orang saksi, malah sipenuduh sendiri yang akan dihukum.
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (dengan tuduhan berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali deraan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik (An-Nur 4).
Negara dengan sistem sekuler demokrasi seperti saat ini, bagaimana mungkin menyelesaikan perkara seperti ini secara Islam? Allah swt telah menurunkan aturan-Nya berupa wahyu untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi umat manusia, manusia saja yang membangkang dan tidak mau mengikuti aturan tersebut. Aturan siapa yang lebih baik daripada aturan yang diturunkan oleh Allah swt, Sang pemilik alam semesta.
Wallahua’lam
Maraji’:
1. http://www.detik.com/ (1 April 2006): Nia Paramitha Bersumpah di Hadapan Amien Rais
2. http://www.detik.com/ (4 April 2006): Pengakuan Eksklusif Gustiranda Tentang Perceraiannya 1 & 2
3. Sistem pergaulan dalam Islam, Taqiyuddin an-Nabhani, Pustaka Thariqul Izzah, cet. I
4. 81 keputusan hukum Rasulullah saw, Abdullah Muhammad bin Farj al-Maliki al-Qurthubi, Pustaka Azzam, cet. I
0 comments:
Post a Comment