Oleh: Azhari
Menjelang waktu Subuh, biasanya para jamaah Masjidil Haram melakukan Shalat Tahajud. Karena mereka mengejar janji pahala yang besar dari Allah swt, shalat dimasjid ini 100.000 kali dibandingkan shalat ditempat lain, kecuali di Masjid Nabawi 1.000 kali. Didekat sebuah tiang terlihat seorang pemuda berkulit hitam legam shalat dengan khusyu’nya, saya jadi teringat dengan Bilal bin Rabbah Sang Mu’adzin Nabi saw. Bilal memang berasal dari sebuah negeri di Afrika bernama Habsyi.
Bilal digambarkan mempunyai perawakan tinggi kurus dan agak bungkuk, berambut lebat dan berkulit hitam. Bilal menjadi budak Umayah bin Khalaf, kemudian dibebaskan oleh Abu Bakar Siddiq ra ketika Bilal disiksa oleh majikannya karena keislamannya. Bilal termasuk sahabat yang telah dijanjikan Allah swt masuk syurga, Rasulullah saw pernah memperoleh ilham mendengar telapak kaki Bilal di syurga. Ketika ditanya apa amalan yang dilakukan Bilal hingga ia masuk syurga, Bilal menyatakan: ”Aku senantiasa melakukan shalat sunnah dua raka’at setiap kali selesai wudhu’ ” lihat 1, hal 83-91
Dikisahkan bahwa setelah kematian Rasulullah saw, Bilal sangat sedih dan selalu menangis saat menyebut nama Rasulullah saw dalam adzannya. Tangis ini kemudian diikuti oleh para sahabat, sehingga Bilal meminta berhenti sebagai Mu’adzin. Akhirnya Bilal menyendiri dikota Damsyik. lihat 1, hal 93
Suatu malam dalam mimpinya Bilal bertemu Rasulullah saw, dan disapa: ”Apakah yang memberatkanmu, wahai Bilal, bukankah sudah tiba waktunya engkau berziarah kepadaku?” Sontak Bilal menaiki kudanya dan menuju Madinah, dikuburan Rasulullah saw Beliau menangis tersedu-sedu.
Saat itu datanglah cucu Rasulullah saw, Hasan ra dan Husein ra, keduanya dirangkul dan diciumi oleh Bilal melepaskan kerinduannya kepada keluarga Rasulullah saw. Kedua cucu Rasulullah saw berkata: ”Kami ingin mendengar adzanmu seperti yang telah engkau kumandangkan untuk Rasulullah saw” Bergegas Bilal menuju keatas Masjid Nabawi dan mengumandangkan adzan.
Ketika Adzan berkumandang bergetarlah kota Madinah, berhamburan laki-laki dan wanita keluar rumah sambil bertanya-tanya: ”Apakah Rasulullah saw dibangkitkan kembali?” Mereka berlinang air mata mendengar adzan Bilal, menimbulkan kenangan indah saat hidup bersama Rasulullah saw dan sangat rindu ingin bertemu kembali dengan Rasulullah saw. lihat 2, hal 30-32
Kembali kepada pemuda berkulit hitam yang shalat dekat tiang Masjid. Uniknya, saat shalat dalam posisi berdiri tangannya menjangkau Al-Quran yang ditempatkan pada tiang Masjid yang dilengkapi rak Al-Quran. Disaat akan ruku’ tangannya meletakkan kembali Al-Quran tersebut diraknya, setelah sujud dan kembali berdiri beliau menjangkau lagi Al-Quran tersebut dari raknya. Beliau membaca ayat Al-Quran dalam shalatnya begitu panjang dan terlihat khusyu’ dan nikmat, setiap raka’at rata-rata diselesaikan dalam 5 menit. Begitu berulang hingga raka’at ke 11, sehingga tahajud diselesaikan hampir 1 jam.
Setelah beliau menyelesaikan shalatnya, saya coba merapat dan menyalaminya: ”Yusuf, Nigeria” katanya. Sungguh terpancar dari matanya kejernihan jiwa, wajahnya yang bersih dan berjenggot memancarkan keshalihan, saya terpesona sejenak memandangnya. Memang kemuliaan seseorang bukan diukur dari ketampanan wajahnya, kedudukan yang dipegangnya, atau sederet gelar yang disandangnya, tetapi dari ketaqwaannya. Inna akramakum ’indallahi atqaakum.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu (Al-Hujurat 13).
Begitu panjang tahajudnya, pernahkah kita melakukannya? Begitu khusyu’ dan nikmat tahajudnya, pernahkah kita merasakannya? Kami masih jauh Ya.. Rab dari kesempurnaan ibadah, maafkanlah kami atas kebodohan kami. Kami masih malas Ya.. Rab menjalankan ibadah-ibadah sunnah, maafkanlah kami atas kelalaian kami. Hilangkanlah sifat malas beribadah dari diri kami, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang gemar beribadah, orang yang nikmat dan khusyu’ dalam shalatnya. Amiin ya Rabbal’aalamiin.
Wallahua’lam
Maraji’:
1. Bilal dan rasialisme, Abbas Mahmoud Aqqod
2. Meraih nikmatnya iman, Abdullah Nasih ’Ulwan
0 comments:
Post a Comment