Oleh: Azhari
Shalat lima waktu, puji-pujian dan dzikir/, kemauan hati maunya sendiri/, salah benar tidak sendirian/, serombongan besar tertentu, yang memerintahkan adalah badan halus/, mana ada yang bernama tuhan/, yang ada hanyalah saya/, walaupun telah mengelilingi dunia sepanjang cakrawala/, sampai kelangit tujuh dan sekeliling bumi/, belum pernah menjumpai yang bernama tuhan.
Sahadat shalat dan puasa tak tekecuali/, dan juga zakat serta haji ke Mekkah/, kesemuanya palsu belaka/, tidak dapat dipegangi/, kesemuanya penjahat di bumi/ mengecoh makhluk lain/, katanya besok akan mendapat surga/, orang bodoh menurut saja pada para wali/, padahal kenyataannya sama-sama belum mengerti dan merasakan yang namanya hari esok itu/, berbeda dengan saya seh Siti Jenar. Lihat 1, hal 85-114
Bait-bait di atas adalah bait-bait yang terdapat dalam buku Serat Seh Siti Jenar karangan Raden Panji Natarata yang merupakan salah satu aliran kebatinan Jawa. Bait-bait yang diungkapkan menggambarkan keyakinan bahwa Tuhan itu tidak ada dan dirinya yang terdalam adalah Tuhan atau manunggaling kawula gusti (dalam bahasa Tasawuf dikenal Wihdatul wujud). Dengan menyatunya Tuhan dalam dirinya maka shalat tidak perlu karena yang menyembah dan yang di sembah sama saja, berdo’a tidak perlu karena pemohon dan yang di mohon sama saja.
Kisah di atas menunjukkan bagaimana akal mencoba meraba-raba hakikat Tuhan, dimana akhirnya akal menyimpulkan bahwa Tuhan tidak ada karena tidak pernah bertemu dengannya, kemudin meyakini bahwa sebetulnya dirinya sendirilah yang menjadi Tuhan. Karena Tuhan tidak ada maka tidak diperlukan prosesi ritual penghambaan terhadap Tuhan. Banyak aliran kebatinan seperti ini di Jawa, bisa ratusan jumlahnya.
Ritual memanggil ruh seseorang yang telah meninggal dan berinteraksi dengannya, menggambarkan pengembaraan akal yang lain. Siapakah yang bisa memastikan bahwa yang berbicara itu benar-benar ruh orang yang meninggal tersebut, bisa jadi itu hanya tipu muslihat sang dukun/paranormal atau setan yang mengelabui manusia.
Ritual larung sesaji, sedekah bumi atau ruwatan sebagai wujud rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan. Disini akal mencari-cari cara berterima kasih kepada Tuhan menurut seleranya sendiri, melakukan improvisasi dalam beribadah sehingga teperosok ke dalam lubang kesyirikan.
Allah swt memberikan akal kepada manusia, akal berpikir tentang materi yang dapat di tangkap oleh indera, seperti: melihat, mendengar, mencium, merasakan dan meraba sesuatu. Kemudian informasi tersebut berpindah dari indera kepada sel otak, lalu di olah dalam sel otak. Hanya sebatas itulah kemampaun akal, akal tidak mampu memahami yang berhubungan dengan non-materi (alam ghaib), seperti: hakikat Allah swt, malaikat, jin, syurga, neraka, akhirat, ruh dan lain-lain.
Jika akal dipaksakan untuk memahami non-materi (alam ghaib) maka kesimpulan yang dihasilkan sebatas praduga (dzann), gamang dan penuh keraguan. Disinilah letak kekeliruan para ahli filsafat ketika mereka menggunakan akal terhadap non-materi (alam ghaib), karena akal tidak mampu memahami segala sesuatu yang tidak terindera olehnya. Lihat 2, hal 101-102; lihat juga 3, hal 31
Akal yang di bingkai dengan konsep Islam akan terjaga keselamatannya dari kesesatan dan kebingungan, Islam akan menuntun akal dalam mengenal Allah swt dan kemudian Rasul membimbing manusia bagaimana cara beribadah kepada-Nya.
Hal-hal ghaib harus diyakini sebatas informasi yang diberikan Allah swt (wahyu) dan merupakan wujud keimanan seseorang, tidak perlu lagi mencari-cari hakikat dibaliknya karena khawatir terjerumus kedalam kesesatan.
Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan (An-Naml 65).
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah: ”Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian di beri pengetahuan melainkan sedikit” (Al-Isra’ 85).
Oleh karena itu, akal tidak diperkenankan masuk ruang lingkup alam ghaib tanpa tuntunan wahyu. Baik-buruk atau benar-salah tidak di ukur berdasarkan kaca mata akal, tetapi harus di ukur menurut kaca mata syari’at (wahyu Allah swt) karena yang mengetahui hakikat keburukan dan kebaikan hanya Allah swt. Begitu juga, ayat-ayat Allah swt yang telah pasti (qath’i) tidak diperlukan lagi peran akal (ijtihad), cukup dipahami dan diamalkan.
Jika akal digunakan untuk memahami sesuatu di luar jangkauannya maka akal akan kebablasan dan tersesat dalam kegelapan, akal yang seharusnya digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah swt dan mengagungkan-Nya malah digunakan untuk mengingkari keberadaan-Nya.
Wallahua’lam.
Maraji’:
1. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan, Drs. Romdon MA, PT. Raja Grafindo Persada, cetakan 1, November 1996.
2. Keseimbangan Antara Kebutuhan Akal, Jasmani dan Rohani, Marwan al-Kadiri, Penerbit Cendekia, cetakan 1, Juni 2004
3. Tafsir Nabawi, Pustaka Azzam, DR. Muhammad Abdurrahman Muhammad, cetakan 1, Juli 2001.
0 comments:
Post a Comment