Oleh: Azhari
PENDUDUK MISKIN
Era Orde Baru (Tahun 1996)
22,5 juta (11.3%) (http://www.depsos.go.id/)
Era Reformasi (Maret 2006)
39,05 juta (17,75%) (http://www.bps.go.id/)
PENGANGGURAN TERBUKA*
Era Orde Baru (Tahun 1997)
4,2 juta (4,7%) (http://www.nakertrans.go.id/)
Era Reformasi (Februari 2007)
10,55 juta (9.75%) (http://www.bps.go.id/)
Pada akhir Era Orde Baru penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) sebanyak 22,5 juta, pada Era Reformasi meningkat menjadi 39,05 juta. Sedangkan pengangguran terbuka Era Orde Baru mencapai 4,2 juta, di Era Reformasi membengkak menjadi 10,55 juta orang dari 108,13 juta orang angkatan kerja.
Data kemiskinan dan penganggguran di atas memberikan efek berantai seperti: bayi-bayi yang mengalami gizi buruk, orang miskin terkena busung lapar, orang sakit terlantar tidak terobati, tunawisma yang beratapkan langit dan anak putus sekolah karena tidak ada biaya sehingga kemiskinan berjalan turun-temurun (struktural), serta tingginya tingkat kriminalitas.
Perubahan kepemimpinan dari Era Orde Baru ke Era Reformasi tidak berdampak terhadap peningkatan kemakmuran rakyat, malahan semakin banyak orang yang miskin dan menganggur. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah yang menaikkan bahan-bahan kebutuhan pokok dan BBM, kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat di rampok oleh para koruptor, privatisasi sektor-sektor yang memenuhi hajat masyarakat luas dan kebijakan dzalim lainnya.
Kebijakan lebih banyak berpihak kepada pengusaha karena mulai dari Wapres, Menteri dan anggota DPR juga berprofesi sebagai pengusaha. Bagi pengusaha keuntungan harus di raih sebanyak-banyaknya, mumpung lagi berkuasa dan memperoleh berbagai fasilitas, ini kolaborasi jahat antara penguasa dengan pengusaha. Kita masih ingat ucapan Menteri Koordinator Perekonomian (yang juga seorang pengusaha) dalam mengomentari kenaikan LPG: ”Nggak mampu, nggak usah beli!”, sulit membedakan ucapan sang Menteri sebagai penguasa atau pengusaha.
Apa yang salah sehingga tidak ada perubahan yang signifikan terhadap kemakmuran rakyat setelah perubahan era kepemimpinan, salah pilih pemimpinkah, salah coblos partaikah atau salah kebijakankah?
Kita paham bahwa ideologi yang diterapkan di banyak negara saat ini adalah ideologi sekuler dan tidak terkecuali Indonesia, ideologi sekuler di bangun atas dasar pemisahan agama dari kehidupan, hanya manusialah yang membuat aturan untuk mengatur dirinya. Dalam bidang ekonomi, hukum, politik dan bidang lainnya sama sekali tidak menjadikan Islam sebagai dasar kebijakannya.
Dalam bidang ekonomi, pengusaha menjalankan bisnisnya tidak memikirkan apakah merugikan orang lain, menjual barang haram atau melakukan penipuan. Sehingga wajar jika sarana-sarana yang merupakan kepentingan umum semisal air, listrik, minyak bumi, dan hasil tambang lainnya dikuasai oleh swasta dan dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Menjalankan bisnis haram seperti khamr (miras), diskotik, perjudian (kasino) dan lokalisasi pelacuran. Bisnis riba menggurita dan nyaris tidak satupun orang yang bisa terbebas darinya. Akibatnya, yang kaya semakin sangat kaya dan yang miskin semakin melarat, karena orang kaya mempunyai sumber daya yang tidak terbatas dan koneksi kuat dengan penguasa sedangkan orang miskin lemah tak berdaya dan menjadi sapi perahan si kaya.
Dalam bidang hukum, tidak ada penegakan hukum yang tegas dan sanksi yang setimpal bagi pelakunya. Jika pejabat dan orang-orang kaya melakukan pelanggaran maka mereka memperoleh hukuman ringan, korupsi milyaran di hukum hanya beberapa tahun saja. Hukuman bagi perampok, pembunuh, pencuri, penzina dan pelaku kriminal lainnya diberikan sanksi ringan, tidak membuat jera pelakunya.
Dalam bidang politik, pilkada-pilkada menguras dana milyaran untuk kampanye, melakukan politik uang dan penuh kecurangan, setelah menang tentu para pejabat itu ingin uangnya kembali dengan menghalalkan segala cara. Sedangkan yang kalah tidak terima karena merasa dicurangi, timbul bentrok massa di beberapa daerah. Dan bidang-bidang lainnya, cukup banyak jika di urut satu-persatu.
Mengganti penguasa tanpa merubah ideologi sebuah negara tidak akan mampu meningkatkan kemakmuran rakyatnya, ini pula yang kita rasakan di Indonesia, gonta-ganti pemimpin bukannya makin makmur malah makin miskin. Karena ideologinya masih yang itu-itu juga, yakni ideologi sekuler. Ini bagaikan mengganti sopir tanpa mengganti mobilnya. Jika mobil angkutannya sudah tua, reot dan sering mogok mau di ganti sopir seorang pembalap sekalipun tidak akan mampu mengatasi masalah, mobil tidak akan bisa ngebut.
Sehingga disamping mengganti pemimpin, diperlukan perubahan mendasar dengan mengganti ideologinya. Pergantian kepemimpinan hanya sekedar fatamorgana reformasi bagi rakyat, berharap mereka akan lebih sejahtera tetapi kenyataannya jauh dari harapan.
Tidak ada ideologi yang lebih baik dari ideologi yang bersumber dari wahyu Allah swt, sangat sempurna dan komprehensif, yakni ideologi Islam. Ideologi Islam dijalankan berdasarkan aqidah Islam, halal-haram tolok ukurnya dan pasti maslahat bagi rakyat. Ideologi ini pernah dijalankan di masa keemasan kekhilafahan Islam dan mampu memberikan kemakmuran bagi rakyatnya.
Apakah (sistem) hukum jahiliah (selain Islam) yang mereka kehendaki ? (sistem hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (sistem hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Al-Maidah 50).
Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dia-lah yang telah menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu dengan terperinci (Al-An’am 114).
Note:
* Pengangguran Terbuka merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan. (http://www.datastatistik-indonesia.com/)
Wallahua’lam
2 comments:
"Saya kira ada (penduduk miskin) yang berhasil memanfaatkan peluang
naiknya uang beredar di masyarakat dengan adanya BLT (bantuan langsung
tunai) tahun 2006 untuk kegiatan produktif sehingga sekarang tidak
tergolong miskin lagi," ujar Arizal.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0707/03/ekonomi/3647810.htm
Selasa, 03 Juli 2007
Jumlah Penduduk Miskin Berkurang
Dirasakan Tak Sesuai dengan Realitas
Jakarta, Kompas - Jumlah penduduk miskin pada Maret 2007 berkurang
2,13 juta orang dibandingkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2006.
Padahal, garis kemiskinan naik lebih tinggi. Artinya, pendapatan
penduduk yang sebelumnya miskin meningkat lebih tinggi dari kenaikan
garis kemiskinan dan inflasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta, Senin (2/7), mengumumkan,
37,17 juta orang atau 16,58 persen dari 224,328 juta penduduk
Indonesia tergolong miskin.
Dengan demikian, jumlah penduduk miskin diperhitungkan berkurang
dibandingkan bulan Maret 2006 yang tercatat sebesar 39,30 juta orang
atau 17,75 persen dari total penduduk.
Perhitungan kemiskinan tersebut dilakukan BPS berdasarkan Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi yang dilakukan
pada Maret 2006 dan Maret 2007.
Penduduk dikategorikan miskin jika rata-rata pengeluaran per kapita
per bulan berada di bawah garis kemiskinan.
Deputi Kepala BPS Bidang Statistik Sosial Arizal Ahnaf menjelaskan,
garis kemiskinan pada Maret 2007 ditetapkan senilai Rp 166.697 per
kapita per bulan.
Garis kemiskinan tersebut naik 9,67 persen dibandingkan garis
kemiskinan pada Maret 2006 yang tercatat senilai Rp 151.997 per kapita
per bulan.
Jumlah penduduk miskin amat dipengaruhi oleh perubahan garis
kemiskinan dan perubahan pendapatan. Menurut Arizal, pengurangan
jumlah penduduk miskin pada saat garis kemiskinan naik lebih tinggi
menunjukkan pendapatan meningkat lebih tinggi dari kenaikan garis
kemiskinan tersebut.
"Saya kira ada (penduduk miskin) yang berhasil memanfaatkan peluang
naiknya uang beredar di masyarakat dengan adanya BLT (bantuan langsung
tunai) tahun 2006 untuk kegiatan produktif sehingga sekarang tidak
tergolong miskin lagi," ujar Arizal.
....
Data penduduk miskin yg saya sampaikan adalah data Maret 2006 (39,05 jt orang), sedangkan data terbaru Maret 2007 (39 jt - 2 jt= 37 jt orang).
Dalam hal ini saya membandingkan Era ORBA (sebelum krisis th 1997) & Era Reformasi, dimana orang miskin bertambah banyak. Meskipun ada pengurangan 2,13 jt orang dibandingkan dengan Maret 2006, masih jauh lebih tinggi dibandingan dengan era ORBA 22,5 jt orang penduduk miskin.
salam,
azh
Post a Comment