Oleh: Azhari
Vatikan dikabarkan telah menerima keluhan 1.000 pendeta yang melakukan pelanggaran pedofili sejak 2001 (Hidayatullah.com tanggal 3 Juni 2007). Berita ini salah satu saja dari sekian banyak kasus pelanggaran seksual oleh pendeta, hal ini terjadi karena sebagai manusia mereka membutuhkan penyaluran nafsu seksual. Sementara mereka dilarang menikah karena agama Nasrani meyakini bahwa kesucian seseorang dilakukan dengan membuang jauh-jauh hasrat duniawi seperti tidak boleh kawin dan memiliki harta.
Allah swt menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna berupa jasad, ruh dan akal, salah satu hilang maka manusia bukan lagi dalam bentuk yang utuh. Manusia juga dilengkapi dengan naluri (gharizah) untuk melengkapi kehidupannya, naluri beragama (tadayyun) agar manusia tidak tersesat dalam mengenal Tuhannya, naluri seksual (an-na’u) agar manusia bisa melanjutkan keturunannya dan naluri mempertahankan diri (baqa) agar manusia bisa bertahan hidup.
Untuk mengatur agar naluri-naluri ini tersalurkan dengan baik maka Allah swt menurunkan wahyu sebagai penuntunnya, ini hal yang wajar karena Allah swt yang menciptakan manusia maka Allah swt yang Maha Tahu pula aturan yang sesuai untuk manusia. Aturan Allah swt ini merupakan FITRAH manusia, artinya sangat sesuai dengan keinginan/kebutuhan manusia itu sendiri, tidak pernah salah dan tidak parsial (memihak). Ini bagaikan manual untuk peralatan elektronik, agar alat tidak rusak maka seharusnya mengikuti manual tersebut, manual untuk alat elektronik dengan merek berbeda jelas tidak bisa digunakan. Begitu juga manusia, jika bukan aturan yang diturunkan Allah swt (wahyu) yang digunakan untuk menjalani kehidupan maka akan timbul kesengsaraan.
Celakanya, manusia ingin membuat aturan sendiri untuk menjalani kehidupannya, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Akhirnya manusia mengabaikan fitrah dirinya dan tersesat sehingga mengalami kesengsaraan.
Kasus pendeta pedofili di atas adalah contoh diabaikannya fitrah manusia yang mempunyai naluri seksual, sehingga menimbulkan kesengsaraan bagi para pendeta dan melampiaskannya dengan melakukan pedofili. Sedangkan Islam tidak menghalangi penyaluran naluri seksual tetapi memberikan tuntunan penyalurannya melalui akad nikah, sehingga perkawinan berlangsung sehat (terhindar dari penyakit), membina keluarga bahagia dan jelas keturunannya (nasab). Karena Islam tidak mengenal konsep kerahiban (ruhbaniyah) dimana untuk menjadi orang yang suci (rahib/pendeta) maka harus menjauhi aktifitas duniawi (seksual dan harta), kemudian melulu menyibukkan diri dengan aktifitas ruhiyah (ibadah) saja.
Kehidupan rumah tangga para artis dan masyarakat umumnya yang berakhir dengan perceraian tidak terlepas dari diabaikannya fitrah dalam menjalani fungsi masing-masing. Kewajiban seorang istri adalah melayani suami dan mengasuh anak-anaknya, sedangkan kewajiban suami memimpin keluarga dan menafkahinya, ketika fitrah sebagai istri dan suami di langgar maka timbul kesengsaraan dalam berkeluarga.
Jika terjadi pembunuhan maka selalu terucap dari keluarga korban agar pembunuh di hukum seberat-beratnya, dengan kata lain mereka menginginkan hukuman mati bagi pembunuh karena tidak ada hukuman lain yang lebih berat dari ini. Ketika pembunuhan di hukum 15 tahun saja (pembunuhan tidak berencana) mereka akan protes tidak puas, ini hal yang wajar karena fitrah manusia telah di langgar. Di dalam Islam, pembunuhan akan di hukum dengan qishash yakni di bunuh (hukuman mati) kecuali keluarga korban memaafkan maka harus membayar denda (diyat). Hal ini menunjukkan betapa aturan Islam sesuai dengan fitrah manusia.
Kenyataannya, sebagian besar aturan Allah swt itu diabaikan dan menggunakan aturan hasil buah pemikiran manusia, sedangkan aturan Allah swt yang di ambil hanya sebatas thalaq, rujuk dan waris saja. Sehingga wajar saja kehidupan tidak memberikan ketenangan, selalu dalam kesengsaraan, kesempitan dan jauh dari kemakmuran.
Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (Al-A’raf 96).
Kita telah bahas diabaikannya fitrah manusia dalam kasus pribadi, keluarga dan bernegara, sangat panjang jika diuraikan satu-persatu. Pada intinya, satu-satunya cara untuk memperoleh kenikmatan hidup adalah kembali kepada fitrah sebagai makhluq Allah swt, yakni selalu menjalani kehidupan ini berdasarkan aturan-Nya. Baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat atau negara; baik dalam hal aqidah, ibadah dan mu’amalah.
Kesengsaraan panjang yang kita alami saat ini adalah buah pembangkangan kita terhadap aturan Allah swt, jika tidak bertaubat maka kesengsaraan itu tetap akan berlanjut.
Wallahua’lam
0 comments:
Post a Comment