Oleh: Azhari
Gonjang-ganjing dana DKP sebesar 26 milyar yang dibagi-bagikan kepada keluarga, pejabat, tokoh partai dan ormas (lihat http://www.gatra.com/ tanggal 24 Mei 2007) membuat kita terhenyak, tega-teganya para pejabat itu menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadinya. Ditengah rakyat mengalami kehidupan yang semakin sulit karena harga kebutuhan pokok melambung (BBM, LPG, beras, minyak goreng dan lain-lain), mereka malah berpesta pora di atas kesengsaraan rakyat dengan menggunakan uang yang seharusnya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat.
Janji-janji manis selama kampanye Pemilu untuk menjadi partai wong cilik, akan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran, memberantas korupsi dan janji-janji muluk lainnya adalah omong kosong belaka. Ini mirip legenda Malin Kundang yang dibesarkan dengan susah payah oleh ibunya tetapi setelah dewasa menjadi durhaka, pejabat itu di pilih karena janji manisnya kepada rakyat tetapi setelah berkuasa mendurhakai rakyat dengan mengabaikan mereka dan lebih mementingkan pribadi dan golongannya.
Kita jadi berfikir, bukankah para pejabat (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang menerima dana korupsi itu adalah orang-orang muslim juga?, bukankah mereka juga melakukan shalat dan ibadah lainnya?, apakah yang menyebabkan mereka lupa terhadap aturan Allah swt bahwa tidak boleh mengambil harta yang bukan haknya?, tidak takutkah mereka ketika dimintai pertanggung-jawaban di akhirat nanti? Dan setumpuk pertanyaan lagi di benak kita.
Shalat adalah kunci ibadah, jika shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya dan sebaliknya. Shalat juga untuk mencegah seseorang berbuat kemaksiaatan, innashshalaata tanhaa ’anilfahsyaai walmunkar; sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar (al-Ankabut 45). Ternyata orang-orang yang rajin shalat itu masih saja melakukan kemaksiaatan, salah satunya dengan korupsi. Dimanakah letak kesalahannya?, janji Allah swt bahwa shalat mampu mencegah berbuat kemaksiaatan yang salah atau shalatnya belum benar.
Di dalam shalat seseorang berkomitmen (berjanji) untuk mematuhi ketentuan Allah swt (bacaan iftitah), Innashalaatii wanusukii wamahyaaya wamamaatii lillahi rabbil’aalamiin; sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah pemilik semesta alam. Tetapi di luar shalat komitmen ini di langgar, kehidupan pribadinya jauh dari tuntunan Allah swt baik; dalam hal aqidah yang masih bercampur dengan syirik, ibadah yang sering diabaikan, mu’amalah (sosial) yang penuh kemaksiaatan. Begitu juga dalam kehidupan bernegara, hukum Allah swt tidak digunakan untuk mengatur kehidupan bernegara.
Disisi lain, di dalam shalat kita selalu memohon kepada Allah swt (bacaan al-Fatihah), ihdinashshiraathal mustaqiim shiraathallaziina an’amta’alaihim ghairil maghdhuubi’alaihim waladhdhaaalliin; tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. Seperti apakah jalan orang-orang yang di beri nikmat oleh Allah swt?, di dalam surah an-Nisa’ 69 dijelaskan bahwa orang yang diberi nikmat adalah orang yang masuk syurga bersama dengan para Nabi dan orang-orang yang shalih.
Dan barangsiapa yang mena’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (an-Nisa’ 69).
Padahal keimanan tidak cukup diucapkan dengan lisan sebagai penyaksi (syahid) seperti dalam shalat di atas, tetapi harus diamalkan sebagai pembenar (mushaddiq). Di dalam shalat kita komitmen (berjanji) untuk ta’at kepada ketentuan Allah swt dan berdo’a agar dimasukkan kedalam golongan para Nabi dan orang shalih di syurga nanti, tetapi di luar shalat komitmen itu di langgar dengan melakukan perbuatan yang di larang oleh Allah swt, lantas bagaimana akan memperoleh syurga? Ini bagaikan seseorang terus menerus berucap akan ke Bandung tanpa pernah berangkat kesana, sehingga tidak akan pernah sampai di Bandung.
Jadi, meskipun shalat jalan (rajin), maksiatnya tetap jalan.
Wallahua’lam
0 comments:
Post a Comment