Oleh: Azhari
Menarik mencermati usulan seorang pengacara Farhat Abbas kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melegalkan judi dengan menguji UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Daripada sembunyi-sembunyi lebih baik dilegalkan saja sehingga memberikan pemasukan bagi keuangan Negara. Toh, Malaysia melegalkan judi di Genting Highland dan Hongkong di Macau (http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/, 21 April 2010).
Ide semacam ini telah lama muncul, sebelumnya diusulkan untuk menjadikan Pulau Batam atau Kepulauan Seribu sebagai lokalisasi judi di Indonesia. Jika judi dilegalkan, maka diperkirakan setiap tahun 1,25 milyar dollar bisa diperoleh dari pajak pengelolaan dan devisa pariwisata (turis mancanegara).
Bahkan jauh sebelum itu, Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI 1966-1977) telah melegalkan judi dan dengan berani mengatakan: ’Demi judi, saya rela masuk neraka’ Ali Sadikin juga mengaku membuat lokalisasi pelacuran di Kramat Tunggak daripada berkeliaran dijalanan, katanya (TEMPO No. 04/XXXIV/21, 27 Maret 2005).
Argumen di atas tentu saja sebatas logika yang mengedepankan azas manfaat (maslahat), tanpa sama sekali mempertimbangkan apakah Islam membolehkan atau tidak (syari’at).
Judi dan zina dengan tegas diharamkan dalam Islam,
Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang berakibat buruk (Al-Isra’ 32).
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (Al-Maidah 90).
Perbuatan menghalalkan sesuatu yang haram atau sebaliknya mengharamkan sesuatu yang halal tidak sebatas judi dan zina, tetapi sangat luas terjadi saat ini. Menghalalkan riba melalui Bank, menghalalkan khamr (miras) dengan membatasi penjualannya, mengharamkan poligami melalui UU Perkawinan No.1 Tahun 74 atau membolehkan seseorang murtad dengan dalih HAM (freedom of religion). Banyak hal lagi jika di urut satu persatu, termasuk sebagian besar perundangan negara kita yang tidak mengacu kepada aturan Allah swt.
Penguasa yang telah menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, sama saja telah menuhankan dirinya dan rakyat telah menghambakan diri (budak) kepadanya. Lihat 2 ,3, 4 Kisah ini digambarkan dalam Al-Quran, ketika ayat At-Taubah 31 diwahyukan kepada Muhammad saw:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya di suruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak di sembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan (At-Taubah 31).
Adi bin Hatim menghadap Rasulullah saw dengan salib dilehernya, dia berkata: ‘Mereka tidak pernah menyembah (para pendeta)’ Rasulullah saw bersabda: ‘Ya (mereka menyembah para pendeta). Jika (para pendeta) mengharamkan kepada mereka sesuatu yang halal dan menghalalkan sesuatu yang haram, mereka mengikuti (para pendeta itu) maka itulah cara mereka menyembah pendeta mereka’ (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi). Lihat 1
Adi bin Hatim (masih Kristen saat itu dengan salib perak dilehernya) membantah bahwa para pendeta tidak pernah menuhankan dirinya, pernyataan ini di bantah oleh Rasulullah saw bahwa mereka (pendeta) telah menuhankan dirinya dengan membuat aturan yang menghalalkan sesuatu yang haram dan sebaliknya.
Lantas, apa bedanya dengan para penguasa (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang membuat aturan tanpa mengacu al-Quran dan assunnah, sehingga menghalalkan suatu yang haram dan sebaliknya. Bukankah sama saja mereka menuhankan dirinya dan memperbudak rakyatnya dengan aturan buatan mereka?
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (Asy-Syuraa 21).
Wallahua’lam
Maraji’:
1. Tafsir Ibnu Katsir
2. Empat Istilah dalam Al-Quran (al-mushthalahat al-arba’atu fi al-quran), Abu A’la al-Maududi, Pustaka Azzam, cetakan 1, Juli 2002 (hal 35)
3. Petunjuk Jalan (ma’alim fith-thariq), Sayyid Quthb, Gema Insani Press, cetakan 1, Juni 2001 (hal 66)
4. Catatan dari Penjara, Abu bakar Ba’asyir, Penerbit Mushaf, cetakan 1, Juli 2006 (hal 19)
0 comments:
Post a Comment