Seorang bayi sangat bergantung kepada ibunya, ia hanya mengenal ibunya, takut dan bersandar kepada ibunya, semuanya ia pasrahkan kepada ibunya, bahkan tidak ingin jauh dari ibunya. Begitu kira-kira analogi sikap tawakal seseorang kepada Allah swt, pasrah apapun yang terjadi dan hanya bersandar kepada Allah swt.
Seorang bayi bergantung kepada ibunya yang sebetulnya makhluk lemah jika dibandingkan dengan Allah swt pencipta makhluk, alam semesta dan kehidupan. Karena hanya ibunya yang dikenal maka kepadanya-lah dia bergantung.
Jika dibayangkan diri kita maka tidak ada artinya dibandingkan milyaran penduduk bumi. Bumi yang sekarang kita tempati hanya setitik debu dari milyaran galaksi di jagad raya sana. Alam semesta dan seisinya diciptakan Allah swt dan di bawah kekuasaan Allah swt.
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan
pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui (Fushilat 12).
Dengan gambaran kekuasaan Allah swt di atas maka seharusnya hanya kepada-Nya kita bergantung dan bersandar, Zat yang mengendalikan langit dan bumi. Bukan kepada patung, kuburan, jimat dan benda keramat lainnya yang semuanya lemah bagai sarang laba-laba. Benda-benda yang tidak mampu mencegah datangnya bahaya dan tidak bisa memberikan manfaat bahkan kepada dirinya sendiri. Inilah esensi tauhid; iyyaakana’budu wa iyyaakanasta’iin: hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan.
Tawakal berarti menyerahkan segala urusan kepada Allah swt, menjalankan ikhtiar sebab-akibat (syababiyah/kausalitas) yang diwajibkan Allah swt, kemudian ikhlas menerima apapun ketetapan Allah swt (qadha’).
Tawakal membuat seorang tidak merasa resah dan takut karena tidak satupun bahaya akan menimpa dirinya jika Allah swt tidak berkehendak, tidak satupun yang mampu mencegah datangnya rezeki jika Allah swt telah menetapkan untuknya. Hasbiyallaahu ‘alaihi yatawakkalul mutawakkiluun: Cukuplah Allah bagiku. Kepada- Nya bertawakal orang-orang yang berserah diri (Az-Zumar 38).
Jadi tawakal bukan bersikap pasrah dan tidak melakukan apa-apa. Tawakal berarti tetap mencari rezeki yang halal, menghindari terjadinya bahaya atau berobat ketika sakit, semuanya itu merupakan ikhtiar yang diwajibkan Allah swt. Tidak menjalankan ikhtiar maka perbuatan durhaka kepada Allah swt karena Allah swt mewajibkan manusia untuk ikhtiar. Meyakini sebuah ketetapan hanya karena ikhtiar semata menjurus perbuatan syirik karena Allah swt yang menetapkan segala sesuatunya (qadha’).
Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw dan bertanya: “Wahai
Rasulullah saw, apakah sebaiknya saya mengikat unta ini dan bertawakal atau
melepaskannya dan bertawakal. Beliau menjawab: “I’qilha watawakkal: Ikatlah dan
bertawakallah (HR Tirmidzi).
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (Ali Imran 159).
Tawakal merupakan bekal terbaik dalam menghadapi segala beban
hidup yang dihadapi, tidak perlu khawatir terhadap apa yang akan terjadi karena
kita tahu Allah swt akan mencukupkannya.
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya (Ath-Thalaq 3).
Jadi, seharusnya manusia tidak boleh sombong ketika sukses dan mengeluh ketika gagal, karena kedua hal ini menunjukkan dia tidak bertawakal kepada Allah swt. Orang sombong merasa kesuksesan hasil ikhtiarnya semata, sedangkan orang yang mengeluh ketika gagal berarti ia tidak ikhlas menerima ketetapan Allah swt (qadha’) atas dirinya. Kesuksesan dan kegagalan adalah ketetapan Allah swt (qadha’) bukan semata-mata atas usahanya sendiri (ikhtiar).
Wallahua’lam
Sumber bacaan:
Menyelami Makna Iyyaakanasta’iin, Hani Kisyk, Cendekia, cetakan 1,
Agustus 2006
0 comments:
Post a Comment