Sangat mudah orang mengumbar kemarahan saat ini, karena hal sepele bisa berujung perkelahian, seperti: senggolan motor, rebutan jalur saat mengendara, karena di klakson dan banyak hal lain biasa kita lihat dijalanan.
Di tengah kehidupan sehari juga demikian, sesama tetangga tersinggung karena merasa dilecehkan, tawuran pendukung sepakbola karena di ejek timnya kalah atau tawuran antar kampung dan kampus karena di picu hal-hal sepele. Mudahnya tersulut emosi karena banyak faktor; pendidikan yang rendah, kehidupan/ekonomi yang makin sulit, lemahnya iman dan faktor lain yang membuat akal sehat tidak lagi berfungsi.
Islam sebagai agama yang sempurna juga mempunyai aturan tentang marah. Marah dibolehkan ketika kehormatan Allah swt (Islam) di langgar, marah dilarang karena dorongan perbedaan etnis, kelompok, golongan atau kebangsaan (’ashabiyah).
Kehormatan Islam di langgar ketika orang kafir mengolok-olok Islam, orang liberal mengacak-acak al-Quran dan menafsirkan seenak perutnya, penguasa membuat UU yang bertentangan dengan Islam, hukum hanya berlaku buat orang lemah sementara pejabat dan penguasa tidak tersentuh hukum, kemiskinan semakin parah sementara uang rakyat di korup oleh pejabat atau kemaksiaatan merajalela tanpa ada tindakan yang tegas untuk mencegahnya. Dalam hal seperti ini kita boleh marah, jika mampu ubah dengan tangan (kekuasaan), atau dengan lisan (da’wah) atau dengan hati (do’a) dan yang terakhir selemah-lemahnya iman. Jika masih tidak ada rasa marah maka bisa jadi tidak ada lagi keimanan yang tersisa.
Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan dibalik ini tidak ada keimanan sebiji sawipun (HR. Muslim).
Kita bisa belajar dari Rasulullah saw kapan dan bagaimana Beliau marah. Rasulullah saw adalah manusia yang paling mampu mengendalikan dirinya, paling bagus akhlaknya, penyayang dan lembut sifatnya. Kemarahan Beliau hanya karena Allah swt.
Tidaklah Rasulullah saw dihadapkan kepada dua pilihan melainkan beliau memiliih yang paling mudah diantara keduanya selama tidak merupakan suatu dosa, namun bila sesuatu itu dosa Beliau adalah orang yang paling menjauh darinya, dan tidaklah Beliau membalas karena dirinya kecuali kehormatan Allah swt di langgar maka Beliau marah karenanya (HR. Bukhari).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemarahan ada yang terpuji dan tercela, terpuji ketika kemarahan terjadi karena Allah swt dan tercela ketika kemarahan terjadi karena selain Allah swt. Jadi, bukan berarti tidak boleh marah sama sekali karena sifat marah adalah tabiat manusia pemberian Allah swt, tetapi marah harus pada tempatnya (karena Allah swt).
Saat marah harus mampu mengendalikan diri, manusia yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah, bukan jagoan yang sering berkelahi. Dianjurkan juga untuk menghindarkan diri dari faktor yang membuat kita marah.
Orang yang kuat bukanlah dengan bergulat, namun orang yang kuat itu adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah (HR. Bukhari).
Bagaimana mengendalikan diri ketika marah? Ketika marah dalam keadaan berdiri maka dianjurkan duduk, kemudian berwudhu’, membaca ta’awudz dan istighfar.
Wallahua’lam
Bahan bacaan:
Pelajaran Penting dari Marahnya Nabi saw (mawaaqif ghadhiba fiihan nabiyyu saw), Khumais as-Sa’id, Pustaka Ibnu Katsir, cetakan 1, September 2005.
0 comments:
Post a Comment